Setelah berminggu-minggu berdemonstrasi dan terkadang berkonfrontasi dengan kekerasan dengan polisi, demonstran Turki menemukan bentuk baru perlawanan.
ISTANBUL/ANKARA —
Aksi seorang diri tanpa bicara oleh seorang pria di Istanbul menginspirasi banyak pengikutnya pada Selasa (18/6), seiring penangkapan puluhan orang di seluruh Turki dalam operasi terkait demonstrasi yang sering menjadi penuh kekerasan melawan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Dalam semalam di Ankara, polisi huru-hara menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan ratusan orang yang berkumpul di dan sekitar kompleks pemerintahan di Kizilay.
Namun, kontras dengan bentrokan penuh kekerasan baru-baru ini di beberapa kota, ratusan demonstran hanya berdiri tanpa bicara di Istanbul, terinspirasi oleh seorang pria yang menghebohkan media sosial dengan melakukan aksi tersebut selama delapan jam di Alun-Alun Taksim pada Senin.
"Saya hanya warga negara biasa di negara ini,” ujar Erdem Gunduz, yang disebut “Standing Man” atau pria berdiri di Twitter, pada stasiun televisi Hurriyet TV. “Kami ingin suara kami didengar.”
Begitu matahari terbenam pada Selasa, ratusan demonstran mengikuti jejaknya, berdiri tanpa bicara dan menghadap foto besar Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki modern, atau barisan polisi yang mengawasi kerumunan dari jarak dekat.
Menteri Dalam Negeri Muammer Guler mengatakan 62 orang telah ditahan di kota terbesar di Turki, Istanbul, dan 23 orang di Ankara. Stasiun televisi negara TRT mengatakan 13 orang telah ditahan di Eskisehir.
Menghadapi banyak kritik, dari dalam maupun luar negeri, atas penanganan polisi yang penuh kekerasan terhadap demonstran, Erdogan, 59, membela para petugas.
“Di hadapan gerakan penuh kekerasan yang sistematik dan komprehensif, polisi memperlihatkan sikap demokratis yang tidak pernah ada sebelumnya dan berhasil melalui ujian demokrasi,” ujarnya pada anggota partainya yang berkuasa, AK Party, di parlemen.
“Polisi dikatakan menggunakan kekerasan. Siapa yang menggunakan kekerasan? Semua teroris, anarkis dan pelaku huru-hara,” ujarnya dalam pidato yang disambut sorak sorai.
Kemal Kilicdaroglu, pemimpin partai oposisi Republican People's Party (CHP), mengatakan perdana menteri tidak menghormati demokrasi dan telah kehilangan harga dirinya.
Cem Oezdemir, salah satu ketua partai oposisi Greens di Jerman, yang merupakan keturunan Turki, juga mengkritik cara Erdogan menangani kerusuhan yang diawali dengan protes atas pengubahan taman menjadi mal.
"Erdogan tidak bisa lagi bepergian ke seluruh dunia dengan menampilkan dirinya sebagai reformis dan modernis. Ia tidak bisa lagi menghapus gambar-gambar kekerasan yang brutal,” ujarnya dalam wawancara dengan surat kabar Jerman Die Welt.
Kekisruhan ini telah melukai kepercayaan investor, dengan mata uang lira turun ke tingkat terendah dalam dua tahun terakhir minggu lalu. (Reuters/Daren Butler dan Parisa Hafezi)
Dalam semalam di Ankara, polisi huru-hara menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan ratusan orang yang berkumpul di dan sekitar kompleks pemerintahan di Kizilay.
Namun, kontras dengan bentrokan penuh kekerasan baru-baru ini di beberapa kota, ratusan demonstran hanya berdiri tanpa bicara di Istanbul, terinspirasi oleh seorang pria yang menghebohkan media sosial dengan melakukan aksi tersebut selama delapan jam di Alun-Alun Taksim pada Senin.
"Saya hanya warga negara biasa di negara ini,” ujar Erdem Gunduz, yang disebut “Standing Man” atau pria berdiri di Twitter, pada stasiun televisi Hurriyet TV. “Kami ingin suara kami didengar.”
Begitu matahari terbenam pada Selasa, ratusan demonstran mengikuti jejaknya, berdiri tanpa bicara dan menghadap foto besar Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki modern, atau barisan polisi yang mengawasi kerumunan dari jarak dekat.
Menteri Dalam Negeri Muammer Guler mengatakan 62 orang telah ditahan di kota terbesar di Turki, Istanbul, dan 23 orang di Ankara. Stasiun televisi negara TRT mengatakan 13 orang telah ditahan di Eskisehir.
Menghadapi banyak kritik, dari dalam maupun luar negeri, atas penanganan polisi yang penuh kekerasan terhadap demonstran, Erdogan, 59, membela para petugas.
“Di hadapan gerakan penuh kekerasan yang sistematik dan komprehensif, polisi memperlihatkan sikap demokratis yang tidak pernah ada sebelumnya dan berhasil melalui ujian demokrasi,” ujarnya pada anggota partainya yang berkuasa, AK Party, di parlemen.
“Polisi dikatakan menggunakan kekerasan. Siapa yang menggunakan kekerasan? Semua teroris, anarkis dan pelaku huru-hara,” ujarnya dalam pidato yang disambut sorak sorai.
Kemal Kilicdaroglu, pemimpin partai oposisi Republican People's Party (CHP), mengatakan perdana menteri tidak menghormati demokrasi dan telah kehilangan harga dirinya.
Cem Oezdemir, salah satu ketua partai oposisi Greens di Jerman, yang merupakan keturunan Turki, juga mengkritik cara Erdogan menangani kerusuhan yang diawali dengan protes atas pengubahan taman menjadi mal.
"Erdogan tidak bisa lagi bepergian ke seluruh dunia dengan menampilkan dirinya sebagai reformis dan modernis. Ia tidak bisa lagi menghapus gambar-gambar kekerasan yang brutal,” ujarnya dalam wawancara dengan surat kabar Jerman Die Welt.
Kekisruhan ini telah melukai kepercayaan investor, dengan mata uang lira turun ke tingkat terendah dalam dua tahun terakhir minggu lalu. (Reuters/Daren Butler dan Parisa Hafezi)