Rakyat Indonesia Anggap Korupsi Ancaman Terbesar bagi Demokrasi

  • Brian Padden

Muhammad Nazaruddin (tengah) dikawal oleh polisi Kolombia di ibukota Bogota. Nazaruddin berhasil ditangkap di kota Cartagena, Kolombia hari Sabtu malam (6/8).

Penangkapan Nazaruddin telah menarik perhatian publik, yang memandang korupsi sebagai ancaman yang lebih besar terhadap demokrasi, dibandingkan terorisme.

Kasus Nazaruddin dinilai memberi pemahaman baru tentang luasnya korupsi di tubuh elit politik. Kalangan analis khawatir kasus itu juga bisa mengguncang kepercayaan publik kepada sistem demokrasi Indonesia yang rentan.

Sejak awal masa jabatan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2009, berbagai penyelidikan terhadap dugaan korupsi di dalam partainya, Partai Demokrat, dan di setiap tingkat pemerintahan telah mendominasi kepala berita dan mengesampingkan prioritas-prioritas legislatif Presiden.

Kasus mantan Bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazarudddin, menjadi pukulan politik serius bagi partai yang didirikan Presiden Yudhoyono dalam pemilu mendatang, dan kalangan analis mengatakan kasus itu bisa berdampak lebih luas bagi pemerintah Indonesia.

Nazaruddin, usia 32 tahun, kabur dari Indonesia bulan Mei, setelah didakwa menerima suap bernilai hampir US 3 juta dolar sebagai imbalan persetujuan proyek-proyek konstruksi ASEAN Games 2011 di Indonesia.

Dalam pelariannya, ia memberi sejumlah wawancara yang menuduh para pejabat senior melakukan korupsi, termasuk beberapa anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang independen. Mereka yang dituduh menolak pernyataannya. Nazaruddin baru-baru ini ditangkap di Kolombia dan telah dikembalikan ke Indonesia untuk menghadapi berbagai dakwaan.

Danang Widoyoko, dari lembaga advokasi independen Indonesia Corruption Watch (ICW), menuturkan berbagai tuduhan tersebut memunculkan keraguan bagi masa depan Partai Demokrat.

“Pada akhirnya, hal itu bisa berpengaruh pada kepercayaan terhadap pemerintah dan saya duga, kepercayaan publik kepada Partai Demokrat akan terpengaruh, begitu juga pada pemilu bagi Partai Demokrat,” ujar Danang.

Menurut Danang Widoyoko, sudah ada banyak perbaikan dalam memberantas korupsi sejak kejatuhan diktator Suharto pada 1998, tetapi, kebebasan pers juga memperbesar perhatian publik pada persoalan korupsi.

Danang menambahkan, “Media bebas untuk membuat laporan investigasi mengenai kasus-kasus korupsi dan tidak ada lagi campur tangan terhadap media ketika menulis tentang korupsi. Itulah sebabnya, korupsi tampaknya terjadi di mana-mana.”

Kuntoro Mangkusubroto, kepala unit kepresidenan yang memfasilitasi reformasi pemerintah, menilai desentralisasi pemerintahan yang mengikuti pertumbuhan demokrasi menyebarkan korupsi ke tingkat daerah.

Kuntoro mengatakan, “Sekarang tidak ada jaminan bahwa bila Anda dekat dengan Presiden, maka segala hal akan menjadi lancar. Tidak, karena ada banyak hal terjadi di lapangan dan begitu banyak pemegang kekuasaan di sana. Menurut pandangan saya, hal itu semakin mempersulit segala sesuatu. Kadang-kadang, orang mengatakan keruwetan adalah induk dari korupsi, ya kan?”

Tobias Basuki, dosen Ilmu Politik pada Universitas Pelita Harapan di pinggiran Jakarta, mengatakan kasus Nazaruddin juga memberi Presiden Yudhoyono kesempatan untuk membangun kembali image-nya sebagai pendekar reformasi dan pemberantas korupsi bila dia bersedia menangkap para anggota di partainya yang terlibat dalam korupsi itu.

Basuki mengatakan, “Saya berpendapat, bila Presiden mengambil tindakan yang luar biasa, bukan untuk menyelamatkan partainya dan bukan untuk menyenangkan setiap orang, menurut saya, ini semestinya menjadi momen bagi dia untuk mengambil langkah yang juga tidak sepenuhnya populer, tetapi akan mengubah banyak hal.”

Basuki menambahkan, kendati sistem demokrasi Indonesia yang masih muda tampak stabil, sistem ini masih rentan. Ia khawatir bila kepemimpinan yang terpilih saat ini tidak mengambil tindakan kuat untuk melawan korupsi, publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap demokrasi.