Hujan sudah mengguyur Purworejo, pada Sabtu 18 Juni 2016 lalu, ketika Marsudi pulang bekerja di sore hari. Semakin malam, hujan semakin deras. Jalan di depan rumahnya tergenang dan air mengalir deras dari puncak bukit. Sementara sungai di belakang rumahnya pelan-pelan meninggi airnya. Tidak ada cukup penerangan karena aliran listrik mati.
Perasaannya sudah tidak enak. Dia mencoba membawa keluarganya keluar dari desa, tetapi jalan terhalang air deras dari puncak bukit. Dia kembali membawa istrinya ke rumah, dan keluar kembali untuk berkoordinasi dengan warga desa lain. Marsudi bertemu sejumlah tetangga yang berkumpul di tepi jalan.
Salah satu tetangganya bercerita bahwa dia kehilangan kambing beserta kandangnya yang ada di samping rumah karena terjangan air dari puncak bukit. Marsudi resah tetapi tak bisa keluar desa untuk mencari tempat aman. Akhirnya dia mengajak seluruh keluarga berkumpul di rumah induk tempat kedua orang tuanya tinggal.
“Waktu itu berduyun-duyun orang berkumpul, lalu saya tanya ada apa, ternyata kambingnya hilang bersama kandangnya, terkena limpahan air. Terus saya pulang, masuk lagi ke rumah, kemudian saya mendengar suara pohon tumbang. Terus saya mengajak anak dan istri saya ke tempat bapak, bersama-sama semua di tempat bapak biar banyak temannya, jadi kalau ada apa-apa nanti kami semua jadi satu. Setelah saya di sana beberapa menit, terjadilah longsor itu,” papar Marsudi.
Rumah Marsudi habis tanpa sisa. Ditemui VOA, dia sedang menggali tanah di satu titik yang dia percaya sebagai dapur. Di sanalah sepeda motornya terparkir. Dia berharap masih bisa memakainya lagi kelak, meski dia menegaskan tidak mungkin lagi tinggal di lokasi yang sama karena trauma. Secara tegas Marsudi berharap meminta pemerintah memindahkan mereka, tetapi dengan syarat tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya saat ini.
“Kalau saya, kelihatannya sudah nggak bisa tinggal di sini. Di samping karena lahan juga sudah tidak punya, saya trauma,” lanjutnya.
BNPB mencatat kerugian akibat banjir dan tanah longsor di 16 kabupaten di Jawa Tengah mencapai ratusan miliar. Belasan ribu warga mengungsi, akibat banjir besar di Solo, Sukoharjo dan Kendal. Sementara lebih dari 60 orang meninggal akibat tanah longsor, di mana sebagian besar korban sudah ditemukan.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di Purworejo, Selasa (22/6) menyatakan, pemerintah akan melakukan relokasi bagi korban tanah longsor. Jumlah warga yang direlokasi masih dalam tahap penghitungan. Menurutnya, relokasi adalah jalan keluar untuk meminimalisir kemungkinan korban baru akibat bencana tanah longsor.
“Kalau memang tanahnya tidak bagus untuk dibangun, jangan dibangun lagi. Direlokasi saja, supaya tidak lagi makan korban jika ada bencana seperti ini. Relokasi merupakan satu opsi bagi wilayah yang rentan bencana longsor. Ini juga diberlakukan di Banjarnegara serta Subang,” kata Menteri Khofifah dalam sejumlah pertemuan di Purworejo.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menegaskan bahwa warga sudah bersedia untuk direlokasi. Tahun 2014 terjadi bencana besar tanah longsor di Banjarnegara, dan korban juga direlokasi di tempat baru yang lebih aman. Penanganan di Purworejo akan menggunakan metode yang sudah diterapkan untuk longsor Banjarnegara.
Peneliti LIPI sekaligus pengurus Ikatan Ahli Bencana Indonesia, Dr Adrin Tohari kepada VOA menyatakan, relokasi memang satu-satunya jalan yang bisa dilakukan untuk menghilangkan potensi jatuhnya korban di masa depan.
Pemerintah harus memastikan bahwa lokasi baru memenuhi beberapa syarat, seperti kemudahan akses, bebas ancaman tanah banjir dan tanah longsor, serta memperhatikan mata pencaharian para korban.
Selain itu, relokasi juga sebaiknya dilakukan bagi warga yang rumahnya berdekatan dengan lokasi longsor saat ini. Melihat posisinya, rumah-rumah di samping lokasi bencana memiliki potensi bahaya yang sama dengan rumah warga yang sudah hancur kali ini.
“Rumah-rumah yang ada di daerah yang terkena dampak tetapi tidak hancur, itu sebenarnya masih bisa dikatakan berada di daerah yang memiliki ancaman bahaya. Karena lereng yang longsor ini hanya terjadi di satu sisi saja, kajian-kajian untuk kondisi lereng-lereng di sebelahnya kan belum ada. Jadi rumah-rumah itu masih memiliki potensi akan terkena ancaman longsor susulan, selama informasi kondisi kestabilan lereng dan ancaman longsor di lereng yang belum bergerak itu belum ada. Jadi menurut saya, masyarakat yang tinggal disitu juga harus dipindahkan,” kata Dr Adrin Tohari.
Adrin menambahkan, yang harus dilakukan segera adalah pengecekan lereng-lereng bukit terutama di sekitar lokasi bencana. Pemerintah daerah bisa berkoordinasi dengan lembaga terkait seperti Badan Geologi.
Your browser doesn’t support HTML5
“Pemerintah daerah biasanya otomatis meminta bantuan badan ini untuk mengkaji mengapa longsor terjadi dan mengkaji juga kawasan yang akan dijadikan lahan relokasi. Kajian cepat ini untuk memahami potensi bahaya longsor.”
Dari lokasi bencana dilaporkan, hingga Rabu sore, 22 Juni 2016, tim evakuasi masih mencari lima korban di Purworejo dan tiga korban di Kebumen. Khusus di Kebumen, tim berencana meledakkan sebuah batu sebesar rumah, karena diduga ketiga jenazah ada di bawahnya. [ns/uh]