Rencana “Sekolah Ibu” Bandung Barat Tuai Kritik

  • Rio Tuasikal

Wakil Bupati Kabupaten Bandung Barat, Hengky Kurniawan (courtesy: @hengkykurniawan)

Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, berencana membuat “Sekolah Ibu” untuk mengurangi angka perceraian di kabupaten itu. Namun rencana itu langsung menuai protes di media sosial karena dianggap menyalahkan perceraian kepada perempuan saja.

Rencana itu diumumkan Kamis (27/12/2018) oleh Wakil Bupati Kabupaten Bandung Barat, Hengky Kurniawan, lewat akun instagramnya @hengkykurniawan. Dalam caption fotonya, dia menyebut Sekolah Ibu akan “memberikan pemahaman berumah tangga, bagaimana menghadapi suami, bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak yang beranjak dewasa”.

Program yang rencananya berisi materi-materi ini bertujuan mengurangi angka perceraian di kabupaten itu yang pada 5-30 November mencapai 244 pendaftaran cerai. Pengumuman itu sempat dikomentari setidaknya 300 netizen dan kelompok sipil, kebanyakan dengan nada negatif, karena program itu dinilai hanya menyalahkan perempuan.

Windy Shelia, pendiri organisasi pendamping perempuan di Bangka Belitung Miak Bise, mengatakan rencana kabupaten Bandung Barat seolah menyalahkan perempuan.

BACA JUGA: Aliansi Laki-Laki Baru, Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan

“Itu justru menyalahkan perempuan. Seakan-akan perempuan yang tidak bisa berkomunikasi. Seolah perempuan yang tidak bisa melayani laki-laki,” ujarnya kepada VOA.

Salah satu netizen yang ikut bersuara, Wildan Teddy, mengatakan baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berkontribusi dalam kejadian perceraian. Malahan, berdasarkan sejumlah laporan, laki-laki kerap melakukan kekerasan terhadap pasangannya yang berujung pada gugatan cerai.

“Berdasarkan laporan laporan yang ada dan garis tren dari laporan-laporan tersebut, laki-laki adalah pelaku yang menyebabkan terjadinya KDRT dalam berbagai bentuk, yang muaranya adalah kepada perceraian,” ujarnya kepada VOA Indonesia saat dihubungi.

Komnas Perempuan pada 2017 mengungkap ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan, di mana 96 persennya adalah kekerasan terhadap istri. Angka ini dicatat dari kasus yang masuk Pengadilan Agama.

Kekerasan terhadap istri berujung cerai (data Pengadilan Agama) mencapai 96 persen dari total kekerasan terhadap perempuan pada 2017. (Sumber: Komnas Perempuan 2017)

Sejumlah kelompok sipil tengah mendorong beberapa program untuk mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan yang berujung perceraian. Sejumlah cara yang diajukan adalah kursus sebelum menikah, konseling pernikahan, dan pemberdayaan ekonomi. Ketiganya dinilai dapat mencegah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Jawa Barat, Darwinih, mengusulkan Kabupaten Bandung Barat mengurangi angka perceraian lewat pembentukan lembaga konseling yang hadir di tingkat desa.

“Misalnya terjadi KDRT atau perbedaan-perbedaan dalam rumah tangga, mereka akan tahu lembaga mana yang akan memberikan solusi untuk persoalan mereka. Misalkan terjadi KDRT, lembaga ini mengarahkan untuk lapor ke polisi dan sebagainya,” pungkasnya.

BACA JUGA: Komnas Perempuan: Praktik Poligami adalah Kekerasan Terhadap Perempuan

Bagi Windy Shelia di Bangka, masalah ekonomi kerap berpengaruh terhadap runtuhnya rumah tangga. Karena itu dia mendorong Sekolah Ibu sebaiknya jadi program pemberdayaan ekonomi.

“Menurut saya akan lebih baik jika di sekolah itu perempuan diajarkan suatu produk atau kerajinan yang bisa memberdayakan mereka. Mereka harusnya diangkat dan diberdayakan. Menurut saya Sekolah Ibu sah-sah saja tapi kurikulumnya saja yang perlu diubah,” ujarnya.

Di tengah berbagai komentar dan masukan itu, Hengky Kurniawan menutup bagian komentar posting Instagramnya. Dia mengubah caption-nya dengan menambahkan “tidak ada yang menyalahkan ibu” dan meminta maaf bila ada yang “salah pemahaman”. Namun dia sama sekali tidak menyinggung masalah KDRT yang dialami perempuan. [rt/em]

Your browser doesn’t support HTML5

Rencana “Sekolah Ibu” Bandung Barat Tuai Kritik