RUU Cipta Kerja, Siapa Untung? Siapa Buntung?

Rapat terbatas penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di Istana Bogor, Jumat 27 Desember 2019. (Foto: Humas Setneg)

Pemerintah telah menyerahkan draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja kepada DPR RI. Draf tersebut menimbulkan polemik, sehingga penolakan pun datang dari berbagai pihak, salah satunya buruh.

Ambisi pemerintah untuk mendatangkan lebih banyak investasi ke Tanah Air diwujudkan dengan pembuatan Omnibus Law. Dalam Omnibus Law tersebut, pemerintah berusaha menyederhanakan berbagai regulasi yang selama ini kerap membuat investor ogah untuk berinvestasi di Indonesia.

Salah satu yang menjadi perhatian dalam Omnibus Law tersebut adalah RUU Cipta Kerja dalam hal ketenagakerjaan. Karena isinya dianggap kalangan buruh sangat merugikan, mereka pun menolak RUU ini.

BACA JUGA: Omnibus Law: Ditolak Pekerja, Ditunggu Sektor Usaha

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah angkat suara terhadap penolakan RUU Cipta Kerja tersebut. Menurutnya, ruang diskusi masih terbuka lebar dan membentuk tim sosialisasi yang modelnya tripartit terdiri dari pemerintah, pengusaha dan buruh.

Ia pun menolak anggapan yang menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja ini hanya menguntungkan kalangan pengusaha. Politikus PKB tersebut mengatakan, pemerintah sebisa mungkin menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha dan buruh.

“Saya, kalau masih ada keberatan, ruang itu masih terbuka untuk dialog. Bahkan tim yang saya ceritakan tadi, teman-teman dari tripartit bisa membahas substansi itu. Ruang itu terbuka. Kenapa? Karena nantinya pembahasan itu akan dilakukan bersama DPR,” ujar Ida.

Your browser doesn’t support HTML5

RUU Cipta Kerja, Siapa Untung? Siapa Buntung?

Ida membantah penilaian buruh yang mengatakan bahwa upah minimum dan pesangon akan hilang. Ida menjelaskan, keduanya tetap ada. Bahkan, kata Ida, ada beberapa perbaikan di RUU Cipta Kerja ini, yang tidak dimiliki sebelumnya oleh UU Ketenagakerjaan nomor 13.

“Malah justru dalam UU Cipta Kerja itu kami perkenalkan program jaminan kehilangan pekerjaan. Ini adalah, ada uang saku yang diberikan, pelatihan vokasi yang diberikan, dan jaminan atau akses penempatan. Justru hal baru ini yang tidak ada dan tidak diatur dalam UU 13. Kami perkenalkan ada program jaminan kehilangan pekerjaan yang dalam konsepnya tidak menambah iuran baru. Nanti ada restrukturisasi manfaat yang akan diberikan kepada pekerja,”paparnya.

BACA JUGA: Omnibus Law Ciptaker Dikritik Dua Pusat Studi Hukum

Ida mengakui ada kesalahpahaman terkait RUU Cipta Kerja ini. Oleh karena itu, ia berharap tim sosialisasi tripartit akan bisa berdiskusi dengan baik, sehingga pembahasan di DPR RI nanti bisa memperoleh hasil yang baik bagi semua pihak.

Apindo: Tidak Benar RUU Cipta Kerja Untungkan Pengusaha

Sementara itu, dihubungi secara terpisah oleh VOA, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan bahwa tidak benar sepenuhnya RUU Cipta Kerja tersebut hanya menguntungkan pengusaha. Menurutnya, RUU Cipta Kerja ini memang mempunyai kelebihan dan kekurangan, baik bagi kalangan pengusaha itu sendiri maupun buruh.

Ditambahkannya, kaum buruh harus melihat jernih RUU Cipta Kerja ini, karena pada dasarnya peraturan itu dibuat untuk menarik investasi masuk ke Indonesia, sehingga bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

“Jadi, kami melihat UU Omnibus Law ini ini sebenarnya tidak hanya menguntungkan pengusaha ya, karena ini kan pada akhirnya seharusnya menguntungkan seluruh masyarakat, karena pemerintah jelas dengan target yang harus dicapai, kita jangan sampai masuk ke middle income trap, 2045 kita mau jadi the biggest, largest economy, gimana kan? Kami juga melihat jelas banyak down side-nya juga, bukan cuma up side. Dan di situlah kemudian Presiden mengimbau, kita mesti sedikit berkorban, kasarnya, sharing the pain-nya antara semua pihak, termasuk pengusaha, termasuk buruh,” jelasnya.

BACA JUGA: Komunitas Pers Tolak Rancangan Aturan 'Orde Baru'

Lalu apa sisi “gelap” yang dirasakan kalangan pengusaha dari RUU Cipta Kerja ini? Shinta menjelaskan bahwa sejumlah sweetener yang wajib diberikan pengusaha kepada buruh dirasakan berat, apalagi pada kondisi perekonomian yang sulit saat ini. Jadi sekali lagi, ia meminta kepada pihak buruh untuk melihat RUU ini secara seksama, dan menurutnya itu cukup baik untuk kesejahteraan buruh.

“Kalau kita lihat, kita dipaksakan untuk membayar sweetener, memang dalam keadaan seperti ini gampang bayar sweetener selama maksimum lima bulan? Keadaan saja sudah sulit seperti ini, secara cash flow kan tidak mungkin. Pengusaha itu sulit sekali untuk harus memberikan sweetener, dalam keadaan seperti ini. Itu kan cash di depan. Jadi cash flow itu urusannya bukan pesangon. Pesangon itu di belakang pada saat orang di-PHK. Jadi buruh tidak melihat unsur itu,” ungkap Shinta.

Lebih jauh, Shinta mengakui tidak memiliki pilihan lain, ketika nantinya RUU Cipta Kerja ini disahkan oleh DPR RI. Menurutnya, langkah membuat omnibus law tersebut, merupakan keberanian pemerintah melakukan berbagai reformasi birokrasi, agar investasi bisa berdatangan, sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan daya saing Indonesia.

Buruh: DPR Jangan Sah-kan RUU Cipta Kerja

Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyono mengatakan adapun poin yang paling memberatkan RUU Cipta Kerja ini bagi kalangan buruh ada tiga hal, yaitu hilangnya kepastian pekerjaan, kepastian pendapatan, dan jaminan sosial.

Ia mencontohkan, hilangnya kepastian pekerjaan terlihat dari sistem outsourcing yang dibebaskan dan tidak dibatasi dalam pekerjaan apapun, yang mana sebelumnya hanya dibatasi pada lima jenis pekerjaan tertentu. Selain itu, sistem kerja kontrak dalam RUU Cipta Kerja ini tidak ada batasan waktu dan digunakan di seluruh jenis pekerjaan.

“Bahkan tidak menutup kemungkinan, bahwa seorang pekerja itu bisa dikontrak ulang seumur hidupnya, tanpa diangkat menjadi karyawan tetap,” ujarnya.

BACA JUGA: Dianggap Merugikan, Kaum Buruh Tolak Omnibus Law

Ia juga memaparkan alasan KSPI tidak mau bergabung dengan tim sosialisasi yang dibentuk oleh Kemenko Perekonomian. Hal itu karena kalangan buruh sama sekali tidak dilibatkan sejak awal pembuatan draf sampai diserahkan kepada DPR RI. Ketika sudah diserahkan kepada DPR, maka besar kemungkinan draf tersebut tidak akan berubah signifikan.

Dengan bergabung tim tersebut, kata Kahar, maka ini berarti pihaknya menyetujui draf RUU Cipta Kerja tersebut. Ia pun berharap DPR untuk tidak mengesahkannya menjadi UU.

“Kami akan meminta kepada DPR, agar tidak mengesahkan RUU Cipta Kerja itu, karena kami melihat keseluruhan RUU ini bukannya memberikan perbaikan kepada kesejahteraan dan kaum buruh, tapi justru mendegradasi banyak hal yang selama ini didapatkan oleh kaum buruh. Jadi, bukan kami menolak untuk berdiskusi, atau menolak untuk memberikan masukan. Kami hanya menolak, ketika dijadikan formalitas oleh pemerintah untuk mengantarkan draf RUU Cipta Kerja ini,” ujarnya. [gi/uh]