Presiden Joko Widodo menginstruksikan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 untuk menggalakkan tiga T (testing, tracing dan treatment) di 12 kabupaten/kota di tanah air, yang tercatat masih memiliki kasus aktif corona di atas 1.000.
“Saya juga minta dua minggu ke depan ini diprioritaskan untuk 12 kabupaten/kota yang memiliki kasus aktif lebih dari 1.000, yang menyumbang 30 persen dari total kasus aktif nasional yaitu di Kota Ambon, Jakarta Utara, Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Jayapura, Kota Padang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Kota Pekanbaru, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur,” ujarnya dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (12/10).
Lanjutnya, berdasarkan data yang ia terima, provinsi Jawa Timur dan provinsi Sulawesi Selatan tercatat mengalami perbaikan dalam pengendalian COVID-19. Menurutnya, provinsi-provinsi lain bisa meniru cara yang dilakukan kedua provinsi itu, agar laju penularan virus corona dapat terus ditekan.
“Dan saya minta tetap yang delapan provinsi prioritas dimonitor secara ketat. Kemudian testing, tracing dan treatment-nya terus diperbaiki. Sehingga gap antara provinsi yang satu dengan yang lain terutama mengenai testing bisa kita kejar dengan baik,” kata Jokowi.
Jokowi Klaim Penanganan Pandemi Semakin Membaik
Dalam kesempatan ini, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga mengklaim situasi pandemi di Indonesia semakin membaik. Hal ini dibuktikan dengan semakin menurunnya jumlah kasus aktif sehingga berada di bawah rata-rata kasus aktif dunia.
“Mengenai data yang saya terima per 11 Oktober, rata-rata kasus aktif covid di Indonesia ini 19,97 persen. Saya kira bagus. Karena ini lebih rendah dari rata-rata kasus aktif Covid dunia yang mencapai 22, 1 persen. Kita lebih baik. Kalau kita lihat di 27 september 2020 yang lalu yang mencapai 22,46 persen. Jadi penurunannya kelihatan sekali, dari 22,46 persen menjadi 19,97 persen,” jelasnya.
Rata-rata kasus sembuh kini sudah mencapai 76,48 persen, lebih baik dibandingkan dengan rata-rata kasus sembuh global 75,03 persen. Meski begitu, Jokowi tetap menginstruksikan agar angka kesembuhan harus terus naik dengan cara meningkatkan standar pengobatan baik di rumah sakit, ruang unit gawat darurat (ICU) maupun di berbagai ruang isolasi.
Pemerintah, ujarnya juga masih memiliki pekerjaan rumah yakni menurunkan angka kematian. Pasalnya rata-rata angka kematian masih berada di level 3,55 persen, atau lebih tinggi dari rata-rata angka kematian dunia yakni 2,88 persen.
Siapa yang Pertama akan Menerima Vaksin COVID-19?
Jokowi sudah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) nomor 99 tahun 2020 tentang pengadaan vaksin. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan dalam Perpres tersebut, pemerintah telah mengatur siapa saja yang akan diprioritaskan untuk menerima program vaksinasi, setelah vaksin COVID-19 yang aman dan efektif tersedia.
BACA JUGA: Vaksin Merah Putih Siap Diproduksi Massal Akhir 2021Airlangga mengatakan, yang akan divaksin terlebih dahulu adalah garda terdepan dalam penanganan pandemi seperti tenaga kesehatan, TNI/Polri, aparat hukum dan pelayanan publik sebanyak 3,4 juta orang, sehingga dibutuhkan 6,9 juta dosis vaksin.
Adapun kelompok masyarakat lain yang juga akan menerima vaksin adalah tokoh agama, tenaga pendidik, hingga BPJS penerima bantuan iuran (PBI) dan masyarakat kelompok usia 19-59 tahun.
"Kemudian masyarakat, tokoh agama, daerah, kecamatan, RT/RW 5,6 (juta orang), 11 juta. Tokoh pendidik, tenaga pendidik, mulai PAUD, TK, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi 4,3 juta (orang), aparatur sebesar 2,3 (juta) dan penerima BPJS bantuan iuran 86 (juta), subtotal 102 (juta) dan masyarakat yang usianya antara 19 sampai 59 (berjumlah) 57 juta, sehingga total 160 juta," jelas Airlangga.
BACA JUGA: Jokowi Siapkan Perpres Vaksinasi Covid-19Dengan begitu, pada tahap awal program vaksinasi COVID-19 akan diberikan kepada 160 juta orang dengan 320 juta dosis vaksin.
"Dalam perencanaan untuk tahun 2021 itu sudah secured untuk kebutuhan 135 juta orang. Jumlah vaksin sekitar 270 juta dosis untuk 2021. Sisanya nanti terus didorong untuk 2022," kata Airlangga.
Your browser doesn’t support HTML5
Untuk memenuhi kebutuhan vaksin tersebut, kata Airlangga, pemerintah sudah mulai melakukan finalisasi kontrak dengan berbagai perusahaan penyedia vaksin. Ia menyebut, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah bernegosiasi untuk pengadaan vaksin sekaligus melakukan pembayaran uang muka pembelian vaksin buatan Inggris AstraZeneca.
"Sekarang Menkes maupun Menteri BUMN sedang negosiasi final dengan AstraZeneca dan kami menyiapkan untuk pengadaan 100 juta dan untuk itu diperlukan down payment (uang muka) sebesar 50 persen atau USD250 juta," kata Airlangga.
Pemerintah juga telah melakukan finalisasi pengadaan 143 juta dosis vaksin dengan Sinovac yang bekerja sama dengan PT Bio Farma (persero).
Kemudian, pihaknya juga telah memfinalisasi kerja sama pengadaan 15 juta vaksin dengan Sinopharm yang akan masuk di 2020, dan 50 juta vaksin yang akan masuk pada 2021. "Sedangkan Cansino itu direncanakan tahun depan,15 juta" kata Airlangga.
Inovasi Baru Dalam Pelacakan Kasus Positif COVID-19
Menteri Riset dan Teknologi (Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan dalam usaha melacak kasus positif corona lebih cepat, pemerintah akan mencoba inovasi baru bernama GeNose yang sedang dikembangkan oleh Universitas Gajah Mada (UGM). GeNose, kata Bambang, bisa mendeteksi keberadaan virus corona hanya melalui hembusan nafas saja. Jika berhasil, inovasi ini bisa mengurangi ketergantungan pelacakan COVID-19 dari hasil PCR Test.
“Dan pendekatan ini bisa menghasilkan upaya screening dan juga deteksi yang lebih cepat. Tidak sampai dua menit setelah kita menyimpan hembusan nafas kita. Dan kemudian jauh lebih murah. Dan satu lagi juga lebih akurat. Di uji klinis tahap pertama, di RS di Yogyakarta tingkat akurasinya dibandingkan PCR test 97 persen. Saat ini kami sedang melakukan uji klinis yang lebih luas lagi di berbagai rumah sakit.” ungkap Bambang.
Inovasi lainnya, yang kemungkinan akan digunakan pemerintah dalam pelacakan COVID-19 adalah RT-LAMP yang sedang dikembangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). RT-LAMP, kata Bambang, bisa menjadi rapid swab test dengan hasil yang lebih cepat, dan tanpa harus menggunakan laboratorium BSL 2.
“Dan kemudian rapid swab test ini tentunya juga bisa menjadi solusi bagi rumitnya testing yang menggunakan PCR ya. Jauh lebih cepat, lebih murah dan juga tingkat akurasinya sangat bisa dipertanggungjawabkan,” jelasnya.
BACA JUGA: Pemerintah Mulai Uji Klinik Terapi Plasma DarahSelanjutnya, dari segi pengobatan, pemerintah saat ini sedang melakukan uji klinis fase satu plasma convalesen atau plasma darah. Sejauh ini, kata Bambang, tidak ditemukan efek samping yang serius dari terapi tersebut.
“Dan apabila ada kejadian kematian yang terjadi pada pasien yang sedang menjalani uji klinis tersebut, bukan karena kegagalan terapi, tetapi karena memang penyakit bawaan yang sangat berat . Karena itu rekomendasi yang dikeluarkan dari uji klinis tahap pertama yaitu terapi ini sebaiknya diberikan kepada pasien kategori sedang. Jangan diberikan kepada pasien kategori berat. Jadi lebih early lebih baik. terutama untuk yang sedang,” katanya. [gi/ab]