Tahun ini, kuil yang dibangun Tiongkok di Yangon, Qing Gong Fu, menandai ulang tahunnya ke-150. Kuil ini sejak lama menjadi simbol komunitas etnis Tionghoa di Rangoon, yang telah terlibat dalam perdagangan antara kedua negara selama berabad-abad.
Kuil ini memberikan pelajaran bahasa Mandarin, klinik gratis dan pensiun bagi sebagian anggota masyarakat, seperti U Htay Myint yang berusia 80 tahun.
Ia mengatakan, "Ada banyak pengusaha Tionghoa di sini yang menjalankan perusahaan dan pabrik."
Para pedagang Tionghoa telah lama mendominasi perdagangan emas di Pecinan Rangoon, di jantung kota. Dan, seperti banyak tempat di seluruh dunia, elektronik, peralatan rumah tangga, pakaian dan mainan buatan Tiongkok kini mengisi sebagian besar toko-toko lokal.
Pemerintah Burma mulai mereformasi ekonominya yang dengan perlahan-lahan mengurangi peraturan dan monopoli yang tidak efisien serta memperluas peluang bisnis. Yu Fang Fang adalah pengawas penjualan pada perusahaan Longtron Electronics yang berbasis di Guangzhou, Tiongkok selatan. Ia mengatakan perusahaannya ingin mencapai 60-juta konsumen di Burma.
Fang mengatakan, "Burma memiliki potensi besar. Produk-produk kami dijual di Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan. Tapi, di Asia Tenggara lebih sedikit. Jadi, kami ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengenal pasar lalu memasukinya."
Sementara meningkatnya minat dari perusahaan asing dapat berarti lebih banyak kesempatan bagi perantara bisnis Burma seperti Myat Kyaw Kyaw, masih ada kekhawatiran bahwa penduduk setempat tidak akan mampu bersaing dengan para pendatang baru.
"Kalau kita memiliki perekonomian terbuka di Burma, kita perlu kebijakan pemerintah untuk mendukung pengusaha lokal, karena kita lemah dalam pengalaman bisnis dan dalam bersaing dengan investor asing," ujar Kyaw-kyaw.
Myat Kyaw Kyaw bekerja sebagai agen importir dan eksportir, tetapi mengatakan yang benar-benar ingin ia lakukan suatu hari nanti adalah mendirikan perusahaan sendiri.