Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perempuan Muslim Afghanistan bisa menjadi sumber cerita pilu yang tiada habis-habisnya. Di negara yang telah dikoyak perang selama hampir 40 tahun ini, hak dan martabat perempuan lebih sering diabaikan ketimbang diperjuangkan atau bahkan dijunjung tinggi-tinggi. Sebuah organisasi yang berbasis di New York dan mendapat dukungan pemerintah setempat, Women for Afghan Women, mencoba mengubah situasi itu.
Bagi Naheed Samadi Bahram, direktur program Women for Afghan Women, perjuangan membela perempuan Afghanistan merupakan perjuangan sulit namun memberinya kepuasan batin.
Sulit karena telah hampir 20 tahun, organisasi nirlaba yang dipimpinnya berdiri namun usahanya untuk memajukan kehidupan perempuan di negara yang mayoritas penduduknya Muslim itu belum menunjukan dampak yang signifikan. Memberinya kepuasan batin karena ia pernah menjadi bagian dari cerita suram perempuan Afghanistan, namun kemudian berhasil mengubah nasibnya.
Meski ada usaha pemerintah Afghanistan dan donor internasional untuk mendidik perempuan, sekitar dua-pertiga perempuan Afghanistan tidak bersekolah. Tidak hanya itu, sekitar 87% perempuan Afghanistan buta huruf dan 70-80% di antara mereka menjalani kawin paksa bahkan saat usia belum mencapai 16 tahun. Sebuah survei menunjukkan, 80% pelaku bunuh diri di Afghanistan adalah perempuan.
Namun, Bahram mengerti mengapa usahanya masih berliku.
“Kita perlu memahami bahwa ini negara yang telah hampir 40 tahun terlibat perang, sehingga memerlukan waktu panjang memperbaiki kondisi perempaun. Kehidupan perempuan di Afhganistan memang membaik setelah perempuan terjun dalam politik dan mengenyam pendidikan," katanya.
Menurut Bahram, perempuan Afghanistan yang dibesarkan dalam budaya Islam masih terjebak dalam pemahaman keliru mengenai posisi mereka dalam keluarga. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa pria boleh memukul perempuan, bahkan saudara perempuannya sendiri. Sudah menjadi pemahaman umum pula, bahwa kalau bercerai, anak harus ikut suami.
Yang memilukan, selama pemeritahan Taliban dulu, perempuan benar-benar seperti terkurung dalam rumah, dan aksesnya ke dunia luar benar-benar dibatasi. Perempuan bahkan sering dijadikan tameng keamanan ketika suaminya berjalan dekat ladang ranjau.
Bahram mengatakan, Women for Afghan Women mencoba mengubah pandangan keliru itu dengan memperkenalkan sistem hukum Amerika yang tidak membedakan gender. Menurutnya, Islam adalah agama perdamaian. Kekeliruan menginterpretasikannya membuat banyak perempuan Muslim Afghanistan terjebak dalam tradisi masa lalu yang merugikan mereka.
Meski berkantor pusat di kota New York, organisasi nirlaba itu tidak hanya membantu perempuan Afganistan yang menjadi pengungsi atau pencari suaka di Amerika, tapi juga perempuan Afghanistan di negeri mereka sendiri.
BACA JUGA: Kebijakan Pemerintahan Baru AS terhadap Dunia IslamWomen for Afghan Women menawarkan tempat pengungsian dan layanan medis di 31 fasiltas yang tersebar di 13 provinsi di Afghanistan. Organisasi ini juga memiliki pusat layanan di kota New York dan Washington DC. Sejak didirikan pada 2001, organisasi itu telah membantu lebih dari 25 ribu klien dan melatih lebih dari 300 ribu perempuan mengenai hak-hak perempuan. Pusat-pusat komunitasnya di Amerika sendiri menawarkan pelajaran bahasa Inggris, persiapan tes mengemudi untuk memperoleh KTP dan persiapan tes kewarganegaraan Amerika.
Setara Yazeed, 41, adalah salah satu perempuan Afghanistan yang memperoh bantuan Women for Afghan Women. Ia belajar banyak mengenai hak-hak perempuan dan bahasa Inggris setelah lama hidup dalam tekanan suami dan Taliban. Di New York, ia kini bekerja di bagian dapur sebuah restoran.
“Kini saya bisa berbicara dalam bahasa Inggris, saya bisa pergi ke toko membeli kebutuhann sehari-hari, pergi ke pertemuan orangtua murid di sekolah dan mengajar anak perempuan saya.”
Yazeed adalah ibu tunggal dengan satu anak. Ia berhasil memperoleh suaka dari AS lewat bantuan Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNCHR). Setelah 2,5 tahun berusaha mendapatkan suaka, ia akhirnya hijrah ke pada 2013. Yang mengesankan menurut Yazeed, pindah ke Amerika, tidak membuatnya melupakan dirinya sebagai perempuan Muslim.
Meski klien Women for Afghan Women umumnya perempuan, Naheed Samadi Bahram mengatakan, organisasinya tidak menolak siapapun perempuan yang membutuhkan pertolongan. Organisasi mendapat dukungan Dewan Kota New York. Salah satu anggota dewan direksinya adalah Meg Barnette, istri anggota dewan kota yang juga aktif di organisasi organisasi advokasi perempuan Planned Parenthood.
Nancy Wilson adalah seorang warga New York menjadi relawan di Women for Afghan Women. Ia memahami penderitaan perempuan Afghanistan, dan ingin ikut meringankan beban mereka. Ia sendiri menawarkan kelas bahasa Inggris untuk imigran perempuan asal Afghanistan. Menurutnya, penting untuk bisa berbahasa Inggris jika imigran ingin sepenuhnya berbaur dengan rakyat Amerika.
“Kalau Anda bisa berbahasa Inggris, hidup akan jauh lebih mudah di Amerika. Saya tidak bisa membayangkan, mempelajari hal-hal yang sepenuhnya baru atau berbeda tanpa kita mengenali bahasanya. Saya ingin perempuan Afghanistan sadar bahwa mereka sama berharganya dengan kaum pria di negara mereka.” [ab/uh]