Universitas Liberty, sebuah lembaga Kristen, menyelenggarakan kegiatan kuliah untuk sekitar 2.000 mahasiswa sampai minggu ini. Namun akhirnya terpaksa menghentikan kegiatan itu karena peraturan darurat yang berlaku di seluruh negara bagian Virginia.
Presiden atau Rektor Universitas Liberty, Jerry Falwell, yang juga putra seorang pendeta terkenal itu dituduh membahayakan kesehatan mahasiswa dengan tetap membuka kampusnya. Treney Tweedy, Wali Kota Lynchburg, di mana kampus universitas itu berada, keberatan dengan keputusan universitas tersebut..
“Saya sangat terkejut dan kecewa setelah mengetahui keputusan terakhir Presiden Falwell untuk mengizinkan mahasiswa kembali ke kampus. Kita berada di tengah-tengah krisis kesehatan masyarakat. Saya percaya itu adalah keputusan yang ceroboh," katanya
Sejak mahasiswa kembali dari “liburan musim semi” pada tanggal 23 Maret, perpustakaan, restoran dan area umum di kampus itu tetap buka. Sebagian mahasiswa mengatakan aturan “jaga jarak sosial” telah diabaikan.
"Presiden universitas mengatakan semua mahasiswa boleh kembali. Keputusan itu adalah hal yang sangat berbahaya secara epidemiologis karena sekarang ada konsentrasi ribuan mahasiswa yang telah pergi ke berbagai pelosok negeri dan banyak bagian dunia, yang semuanya kini berada di satu tempat," kata James Bagans (22 tahun) yang merupakan mahasiswa tingkat Magister untuk Kesehatan Masyarakat.
Padahal, tambahnya, sebagian besar perguruan tinggi mengalihkan kegiatan kuliah secara online.
"Ini bisa mengakibatkan kematian, dan keputusan itu sulit dimengerti dan menurut saya keputusan itu salah," tegasnya.
BACA JUGA: Kampus AS Tutup Akibat Corona, Mahasiswa Perjuangkan Pengembalian BiayaJames Bagans menambahkan, “sebagai seorang Kristen, kita harus benar-benar berpikir bagaimana tindakan kita mempengaruhi orang-orang di sekitar kita dan bagaimana kita dapat melindungi mereka.”
“Saya menghabiskan 14 hari di sini sebelum pulang untuk memastikan saya tidak menularkan penyakit ke keluarga saya,” tambahnya.
Tetapi Jerry Falwell bersikukuh terhadap sikapnya untuk tetap membuka universitas. “Kami memiliki 750 mahasiswa internasional tanpa alternatif lain, tidak ada tempat lain selain tinggal di asrama," katanya.
Sementara, Michelle Gougler, seorang ibu dari seorang mahasiswa Universitas Liberty mengaku setuju dengan keputusan universitas itu.
“Saya kira dia melakukan hal yang benar. Saya pikir dia tidak membuat keputusan tergesa-gesa dengan mengatakan kepada anak-anak bahwa mereka boleh kembali ke kampus, dan saya setuju dengan apa yang dilakukannya," kata Michelle Gougler.
"Dia tidak membuat keputusan tergesa-gesa dan kita tahu anak-anak hanya perlu kembali ke kampus dan mengambil barang-barang mereka," tambahnya.
Sebagian mahasiswa, seperti mahasiswa penerbangan Jared Marshall, ingin agar kegiatan kuliah diteruskan seperti biasa. Ia mengatakan tindakan-tindakan pencegahan telah dilakukan.
“Saya kira baik mahasiswa kembali ke kampus Liberty karena sebagian mereka tidak punya rumah, misalnya anak-anak misionaris. Orang tua mereka tinggal di luar negeri sehingga mereka tidak punya tempat untuk pergi," ujar Jared Marshall.
"Jadi saya rasa hal seperti itu baik karena memberi mereka kesempatan untuk tinggal di kampus jika mereka membutuhkan daripada menjadi tunawisma," katanya.
Namun Jared Marshall mengatakan dia tidak ingin kembali ke keluarganya, yang tinggal di wilayah selatan Amerika, karena takut menulari mereka.
“Saya akan tinggal di apartemen saya jauh dari orang-orang dan berharap bahwa setelah ini semuanya dapat dilanjutkan, dan operasi penerbangan kembali normal,” katanya.”
BACA JUGA: Wabah Virus Corona Kacaukan Liburan Musim Semi Tahun Akademik 2020Peraturan karantina wilayah di negara bagian Virginia yang mulai diberlakukan hari Senin lalu oleh Gubernur Demokrat Ralph Northam. Hal tersebut akhirnya mendorong Universitas Liberty untuk membatalkan semua kegiatannya dan mengisolasi sekitar 1.000 mahasiswa di kampus itu.
Pejabat Universitas Liberty mengatakan sejauh ini tidak ada kasus COVID-19 di kampus itu.
Olivia Damron, seorang mahasiswa jurusan sosiologi berusia 19 tahun, memilih tetap tinggal di kampus yang sebagian besar sepi itu.
Olivia mengatakan di kampus itu tidak ada banyak orang. “Semuanya terbuka, tempat makan dan perpustakaan. Pada dasarnya saya mengurung diri di asrama dan belajar online,” ujarnya. “Kami memilih untuk berada di sini, kami memahami situasinya tidak ideal,” tambahnya. [lt/ii]