Pasca pengesahan Undang-undang Pilkada, sejumlah lembaga dan partai politik berencana akan mengajukan gugatan yudisial (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi, karena aturan tersebut dinilai telah mengambil hak konstitusional rakyat dalam memilih pemimpinnya dengan menghapuskan pemilihan kepala daerah langsung.
Pihak yang akan mengajukan gugatan tersebut antara lain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Arif Wibowo dari PDI-P menilai pemikiran partai-partai pendukung pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak menunjukan suatu gagasan yang memberikan manfaat riil bagi kepentingan rakyat.
Pihak yang dirugikan dalam keputusan pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah rakyat, karena pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya merupakan pelibatan langsung rakyat dalam demokrasi.
Dia menyatakan partainya akan membentuk tim khusus untuk permohonan gugatan itu dan menyiapkan pengacara dan ahli tata negara untuk memenangkan gugatannya.
“…Kemampuan kita membaca apa yang menjadi aspirasi rakyat… Bagaimana gelombang besar, keinginan rakyat terhadap penggunaan hak politik secara optimal, partisipasi yang meningkat, pelibatan dalam setiap pemilihan langsung. Mereka bisa memberikan hak suaranya di dalam bilik-bilik suara tidak lagi dikonversi mereka yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” ujar Arif.
Sementara itu, koordinator KontraS Haris Azhar mengatakan, pemilihan kepala daerah oleh DPRD telah memotong hak partisipasi warga negara dalam berdemokrasi.
Keputusan ini telah menimbulkan kekecewaan masyarakat sehingga lembaganya membuka pendaftaran bagi masyarakat yang ingin ikut menggugat Undang-undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Pembukaan pendaftaran bagi masyarakat ini, tambah Haris, adalah untuk membuka ruang partisipasi publik untuk melawan Undang-undang Pilkada yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian pada sistem demokrasi yang saat ini sedang terusik, ujarnya.
Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam mendukung gugatan tersebut yaitu menunjukkan bukti bahwa penggugat merupakan warga negara Indonesia dan membuktikan kerugian konstitusional atas pengesahan UU Pilkada.
Pengamat Politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi mengatakan, pengesahan Undang-undang Pilkada yang memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD telah sangat mengkhawatirkan dan menakutkan.
“Karena saking berkuasanya pemimpin partai itu betul-betul memberlakukan kadernya bukan) sebagai seseorang yang bermartabat, pejuang bagi rakyat tetapi sekedar buruh politik,” ujarnya.
Martin Hutabarat, politisi dari Partai Gerindra yang mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD, mengatakan pengajuan judicial review Undang-undang Pilkada ke MK merupakan hak siapapun.
Ia mengatakan pemilihan kepala daerah melalui DPRD sangat ideal karena pemilihan langsung yang terjadi selama ini menimbulkan dampak negatif di masyarakat dan kepala daerah juga banyak yang terlibat korupsi karena biaya politik yang tinggi.
Menurutnya, partisipasi masyarakat juga tidak tinggi dalam pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung.
“Sebab kalau kita katakan soal rakyat, banyak yang mengikuti pilkada tidak sampai 50 persen seperti pemilihan Gubernur Sumatera Utara, misalnya,” ujarnya.
Partai Demokrat juga berencana akan mengajukan gugatan yudisial setelah walk out atau keluar dalam pemungutan suara pada rapat paripurna DPR untuk membahas UU tersebut.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono mengatakan kecewa dengan hasil penetapan UU tersebut dan partainya menyetujui pilkada langsung tetapi dengan 10 syarat atau perbaikan.