Tim jaksa KPK menyatakan Setya Novanto terbukti bersalah terlibat dalam korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Anggota tim jaksa KPK secara bergantian membacakan 200 halaman dari surat penuntutan setebal lebih dari dua ribu halaman.
Dalam pertimbangannya, jaksa Abdul Basir menjelaskan perbuatan mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya itu tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Perbuatan Setya Novanto dinilai berakibat sangat besar, menyangkut pengelolaan data kependudukan nasional yang dampaknya masih dirasakan. Setya Novanto dipandang tidak kooperatif selama penyidikan dan penuntutan. Tindakannya juga terbukti telah menyebabkan kerugian negara dalam jumlah sangat besar.
Basir menambahkan Setya Novanto dinilai telah memperkaya diri sendiri sebanyak US$ 7,3 juta atau sekitar Rp 71 miliar (kurs tahun 2010) dari proyek pengadaan KTP elektronik. Belum termasuk gratifikasi yang diterima Setya Novanto, yang telah memperkaya dirinya dengan satu jam tangan bermerek Richard Mille seri RM 011 seharga US$ 135 ribu atau sekitar Rp 1,3 miliar (berdasarkan kurs tahun 2010).
Lebih lanjut Basir mengatakan Setya Novanto secara langsung atau tidak langsung melakukan campur tangan terhadap proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek KTP elektronik pada 2011-2013.
Setya Novanto bersama-sama dengan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong mengatur proses penganggaran di DPR. Selain itu, dia juga mengintervensi proses pengadaan barang dan jasa dalam proyek.
Setya Novanto dianggap melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Setya Novanto berupa pidana penjara selama 16 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 1 miliar. Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," kata Basir.
Setya Novanto juga dituntut untuk mengganti kerugian negara sebesar US$ 7,435 juta dikurangi uang hasil korupsi yang telah dikembalikan oleh terdakwa sebanyak Rp 95 miliar, selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Jika dalam waktu tersebut, terdakwa tidak membayar uang pengganti, lanjut Basir, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti itu. Dan jika tidak mempunyai harta yang cukup buat membayar uang pengganti, maka dia akan dikenai hukuman penjara selama tiga tahun.
Basir menambahkan tim jaksa KPK juga menuntut majelis hakim mencabut hak Setya Novanto untuk menduduki jabatan publik selama lima tahun, terhitung lima tahun setelah dia menyelesaikan hukuman penjaranya. Jaksa juga meminta majelis hakim tetap menahan Setya Novanto.
Tim jaksa penuntut umum juga meminta majelis hakim memerintahkan uang pengembalian sebesar Rp 5 miliar yang disetorkan oleh Setya Novanto ke rekening atas nama KPK di Bank Mandiri dirampas untuk negara. Setya Novanto juga dituntut untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500.
Basir mengatakan tim penuntut umum telah mempelajari permohonan Setya Novanto untuk menjadi saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborator, yang diajukan pada 10 Januari 2018. Berdasarkan penilaian tersebut, tim penuntut umum menyimpulkan Setya Novanto belum memenuhi syarat untuk menjadi justice collaborator.
Alhasil, penuntut umum menolak permohonan Setya Novanto buat menjadi justice collabragtor. Meski begitu, lanjut Basir, kalau nantinya Setya Novanto memenuhi syarat menjadi justice collaborator sesuai aturan berlaku, tim penuntut umum akan mempertimbangkan kembali permintaan Setya Novanto tersebut.
Baca juga: KPK Pertimbangkan Permohonan “Justice Collaborator” Setya Novanto
Menanggapi tuntutan yang diajukan tim jaksa KPK, Setya Novanto mengatakan pihaknya akan mengajukan pembelaan atau pledoi secara pribadi dan melalui tim penasihat hukum.
"Kami telah mendengar secara teliti dan kami tetap menghargai apa yang menjadi putusan daripada JPU. Tentu kami akan melakukan pembelaan, baik secara pribadi maupun melalui penasihat hukum," ujar Setya Novanto.
Firman Wijaya, anggota tim penasihat hukum Setya Novanto, menekankan pihaknya akan tetap mendorong kliennya untuk menjadi justice collaborator. Dia berharap KPK mau menjadikan Setya Novanto sebagai “justice collaborator” supaya kasus korupsi KTP elektronik bisa diusut tuntas.
Firman meyakini KPK nantinya akan menjadikan Setya Novanto sebagai “justice collaborator.” Alasannya, undang-undang tidak membatasi pengajuan menjadi “justice collaborator,” dan karenanya seseorang tetap bisa mendapat status “justice collaborator” di luar persidangan dan boleh diajukan lebih dari satu kali.
Wakil Ketua KPK Laode Syarif menilai informasi yang disampaikan Setya Novanto dalam persidangan belum bernilai bukti bagi KPK. Dia juga mengatakan Wakil Ketua DPR itu menyebut banyak keterlibatan orang lain dalam kasus korupsi KTP elektronik, tetapi dia tidak mengakui apa yang dilakukannya.
"Dia menyebut banyak keterlibatan orang lain tetapi dia tidak mengakui apa yang dia kerjakan sendiri, nah itu keanehan-keanehan. Selalu dia mendengar dari orang, bukan dia sendiri. Jadi itu hanya informasi awal saja, tetapi terus terang sampai hari ini informasi yang diberikan oleh yang bersangkutan tidak ada informasi baru yang berharga," tukas Laode.
Dalam persidangan sebelumnya, Setya Novanto juga mengungkapkan sembilan nama politisi yang menerima uang suap proyek KTP elektronik, diantaranya Puan Maharani, Pramono Anung dan Ganjar Pranowo.
Mereka yang disebut Setya Novanto itu telah membantah tudingan tersebut. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani ketika proyek KTP elektronik itu dimulai menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR, Sekretaris Kabinet Pramono Anung ketika itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPR, sementara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ketika itu merupakan anggota komisi II DPR.
Baca juga: Puan Maharani dan Pramono Anung Bantah Terlibat e-KTP
Hadir dalam persidangan pembacaan tuntutan, Deisti Astriani Tagor, istri dari Setya Novanto, dan mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya Agung Laksono dan Menteri Sosial yang merupakan kader Golkar, Idrus Marham.
Ketua majelis hakim memutuskan sidang dengan agenda pembacaan pledoi atau pembelaan dari terdakwa dan penasihat hukumnya digelar pada 13 April mendatang. [fw/em]