“The only solution consistent to international law is for this illegal occupation to come to an immediate, unconditional and total in it…”
Dengan suara lantang Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Malki berbicara di sidang dengar pendapat bersejarah di Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang legalitas pendudukan Israel selama 57 tahun di wilayah yang diupayakan sebagai sebuah negara Palestina.
Sidang ini dibuka dengan latar belakang perang Israel-Hamas, yang dengan cepat menjadi titik fokus sidang, meskipun sidang ini sedianya memusatkan perhatian pada kontrol terbuka Israel atas Tepi Barat yang didudukinya, serta Jalur Gaza dan Yerusalem Timur yang dicaploknya.
Maliki secara terang-terangan menuduh Israel melakukan apartheid dan mendesak Pengadilan Tertinggi PBB untuk menyatakan bahwa pendudukan Israel merupakan hal yang ilegal, harus diakhiri dengan segera dan tanpa syarat, agar harapan akan masa depan dua negara dapat bertahan. Apartheid adalah suatu kebijakan segregasi atau pemisahan berdasarkan ras dan warna kulit. Kebijakan ini pernah diterapkan pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga 1990.
"Hari ini menandai dimulainya proses bersejarah di Mahkamah Internasional PBB. Seluruh rezim pendudukan kolonial Israel diadili hari ini. Bukan hanya apartheid, penjajahan dan penganiayaan yang dilakukan secara brutal terhadap rakyat Palestina. Sejumlah negara yang belum pernah berpartisipasi dalam persidangan ini sebelumnya telah mengambil sikap untuk keadilan dan perdamaian. Ini adalah cerminan yang jelas dari keprihatinan dan seruan global untuk mengakhiri rezim yang menjijikkan dan ilegal ini, dengan segera dan tanpa syarat," ujar Maliki.
"Kami percaya pengadilan akan setuju dengan argumen hukum yang komprehensif dan meyakinkan yang diajukan. Keberadaan pendudukan kolonial ilegal dan rezim apartheid ini adalah sumber dari semua penyakit yang diderita oleh rakyat kita," imbuhnya.
Lebih jauh Maliki mengatakan kepada ICJ bahwa "2,3 juta warga Palestina di Gaza – yang separuhnya adalah anak-anak – telah dikepung dan dibom, dibunuh dan dilukai, kelaparan dan terpaksa mengungsi." Ditambahkannya, “lebih dari 3,5 juta warga Palestina di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem, mengalami penjajahan di wilayah mereka dan kekerasan rasis yang memungkinkan hal tersebut terjadi.”
Pakar Hukum Internasional Pertanyakan Argumen AS Bela Israel
Pakar hukum internasional Paul Reichler, yang mewakili Palestina, dan berbicara dalam sidang itu mengatakan kebijakan Pemerintah Israel "selaras dengan tujuan gerakan pemukim Israel untuk memperluas kontrol jangka panjang atas Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan pada praktiknya untuk lebih mengintegrasikan daerah-daerah tersebut ke dalam wilayah" Israel.
"Satu-satunya negara selain Fiji yang membela Israel adalah Amerika Serikat (AS. Hal ini tidaklah mengherankan. Apapun pelanggaran terhadap hukum internasional yang dilakukan Israel, Amerika maju untuk melindunginya dari pertanggungjawaban. Di sini, Amerika berusaha membela Israel bukan dengan berargumen bahwa pendudukan itu sah, tetapi tidak sah atau tidak melanggar hukum. Untuk mencapai kesimpulan ini, Amerika berargumen bahwa pendudukan yang bersifat agresif diatur secara eksklusif oleh hukum humaniter internasional, dan bukan oleh piagam PBB atau hukum internasional secara umum. Dengan mengutip pernyataannya sendiri, "Meskipun hukum humaniter internasional membebankan kewajiban-kewajiban kepada pihak-pihak yang berperang dalam melakukan pendudukan, hukum ini tidak mengatur status hukum suatu pendudukan sebagai sah atau tidak sah.”
BACA JUGA: Pengadilan PBB akan Evaluasi Implikasi Pendudukan IsraelPaul Reichler mengkritisi pandangan Amerika ini.
“Bahkan dengan asumsi bahwa ini adalah pandangan yang benar atas hukum humaniter internasional – yang mana kami tidak setuju – hal ini tidak mengarah pada kesimpulan bahwa suatu pendudukan tidak dapat dikatakan melanggar hukum internasional. Bagaimana dengan Pasal 2/4 Piagam PBB dan hukum Internasional Umum, termasuk larangan akuisisi wilayah dengan kekerasan? Bagi Amerika, tampaknya, norma pengecualian ini tidak mencakup pencaplokan dan pemukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki," ujar Reichler.
Sidang dengar pendapat ini dilakukan atas permintaan Majelis Umum PBB untuk memberikan nasihat yang tidak mengikat.
Meski Tak Dijadwalkan Bicara, Israel Kirim Surat
Perwakilan Israel tidak dijadwalkan untuk berbicara, tetapi pada Juli 2023 lalu Israel mengirimkan surat sepanjang lima halaman kepada pengadilan yang diterbitkan setelah sidang pada Senin.
Dalam surat tersebut, Israel mengatakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke pengadilan bersifat prasangka dan "tidak mengakui hak dan kewajiban Israel untuk melindungi warganya," membahas masalah keamanan Israel atau mengakui kesepakatan Israel-Palestina untuk merundingkan berbagai isu, termasuk "status permanen wilayah, pengaturan keamanan, pemukiman, dan perbatasan."
"Meskipun permohonan yang diajukan ke Pengadilan berusaha untuk menggambarkannya seperti itu, konflik Israel-Palestina bukanlah narasi kartun tentang penjahat dan korban di mana tidak ada hak-hak Israel dan tidak ada kewajiban Palestina," katanya.
"Menghibur kebohongan seperti itu hanya akan membuat kedua belah pihak semakin jauh terpisah dan bukannya membantu menciptakan kondisi yang mendekatkan mereka,” tambah pernyataan dalam surat itu.
Indonesia Akan Bicara Hari Jumat
Ada 53 negara dan tiga organisasi internasional yang akan diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan secara lisan, termasuk Indonesia.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dijadwalkan berbicara pada Jumat (23/2).
Konflik Memuncak Sejak 1967
Israel merebut Tepi Barat, Yerusalem timur dan Jalur Gaza dalam perang Timur Tengah pada 1967. Palestina menginginkan ketiga wilayah itu sebagai negara merdeka. Israel menganggap Tepi Barat sebagai wilayah yang disengketakan, yang masa depannya harus diputuskan melalui perundingan.
Menurut kelompok pengawas “Peace Now,” Israel telah membangun 146 permukiman di seluruh Tepi Barat di mana banyak di antaranya menyerupai daerah pinggiran kota yang sudah berkembang dan kota-kota kecil. Permukiman tersebut merupakan rumah bagi lebih dari 500.000 pemukim Yahudi. Ada sekitar 3 juta warga Palestina tinggal di wilayah tersebut.
Your browser doesn’t support HTML5
Israel juga mencaplok Yerusalem Timur dan menganggap seluruh kota itu sebagai ibu kotanya. Ada sekitar 200.000 warga Israel tinggal di pemukiman yang dibangun di wilayah itu, yang dianggap Israel sebagai lingkungan ibu kotanya. Penduduk Palestina di kota ini menghadapi diskriminasi sistematis, sehingga menyulitkan mereka untuk membangun rumah baru atau memperluas rumah yang sudah ada.
Pada 2005, Israel menarik seluruh tentara dan permukimnya dari Gaza, namun tetap mengontrol wilayah udara, garis pantai dan pendaftaran penduduk di wilayah tersebut. Israel dan Mesir memberlakukan blokade terhadap Gaza ketika kelompok militan Palestina Hamas merebut kekuasaan di sana pada 2007.
Masyarakat internasional menganggap pemukiman tersebut ilegal. Pencaplokan Israel atas Yerusalem timur, yang merupakan rumah bagi tempat-tempat suci yang paling sensitif di kota itu, juga tidak diakui secara internasional.
Namun demikian bukan pertama kalinya pengadilan diminta untuk memberikan pendapat penasihat tentang kebijakan Israel. [em/jm]