Indonesia menerima sejumlah pertanyaan dan rekomendasi dari beberapa negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait kebijakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Air. Dua hal yang mencuat dari sejumlah isu yang muncul dalam persidangan Universal Periodic Review (UPR) ke-4 di Markas PBB, Jenewa, Swiss, Rabu (9/11), itu di antaranya adalah masalah HAM di Papua dan juga hukuman mati yang masih diterapkan di Indonesia.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang memimpin delegasi Indonesia mengingatkan bahwa Jakarta menghadapi situasi yang unik dan tidak mudah untuk memenuhi komitmen pembangunan HAM. Demokrasi yang terus diuji, disahkannya berbagai undang-undang dan perturan, dinamika penegakan hukum, peran masyarakat sipil yang dinamis, kondisi geopolitik global dan regional adalah sebagian fenomena yang mewarnai pembangunan nasional di bidang HAM selama lima tahun terakhir.
Mekanisme UPR merupakan forum yang mengedepankan dialog dan kerja sama yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas negara-negara anggota PBB dalam melaksanakan komitmen kemajuan dan perlindungan HAM, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 Tahun 2006.
Terkait hukuman mati, Yasonna mengklaim bahwa ketentuan tersebut masih sebagai hukum positif hingga saat ini. Pasalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih menempatkan pidana mati sebagai hukuman pokok. Namun, pemerintah sedang mencari jalan tengah terkait hal tersebut dengan melakukan amandemen KUHP yang akan menjadikan pidana mati sebagai hukuman alternatif.
“Kalau dalam KUHP, hukuman mati merupakan salah satu hukuman pokok, tetapi dalam KUHP yang nanti itu adalah alternative punishment,” kata Yasonna dalam jumpa pers secara virtual dari Jenewa, Rabu (9/11) malam.
Jadi, lanjutnya, hukuman mati dapat dievaluasi setelah 10 tahun, termasuk juga selama terpidana menjalankan hukuman mati, hukumannya dapat dikurangi menjadi hukuman seumur hidup atau 20 tahun. Namun, kata Yasonna, tentunya hal itu dapat dilakukan dengan adanya rekomendasi dari berbagai pihak.
Sedangkan masalah HAM di Papua, sejumlah negara --khususnya Eropa-- menyoroti kasus mutilasi yang terjadi di daerah tersebut beberapa waktu lalu. Yasonna menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya melakukan pendekatan yudisial, tetapi juga non-yudisial terkait peyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua.
BACA JUGA: Penyelesaian Yudisial dan Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Saling MelengkapiTerkait dengan kasus HAM di wilayah paling timur Indonesia itu, Yasonna mengomentari masalah pelanggaran HAM berat di Paniai yang menewaskan empat warga sipil dengan korban luka-luka sebanyak 21 orang pada 2014.
“Kasus Paniai sekarang dalam proses sidang. Jaksa penuntut yang ikut menyidangkan kasus Paniai ikut ke mari, menjadi salah satu orang delegasi kita, bahkan menyampaikan jawaban atas berbagai isu HAM,” kata Yasonna.
Catatan Masyarakat Sipil
Sementara itu, sejumlah organisasi yang tergabung dalam masyarakat sipil, di antaranya KontraS, Amnesty Internasional Indonesia dan SafeNet, memiliki catatan tersendiri terkait perlindungan dan pemenuhan HAM di Tanah Air.
Menurut koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, Indonesia masih belum mempunyai peraturan yang komprehensif untuk para pembela HAM dan proteksinya. Akibatnya, pekerjaan pembela HAM ini terkadang dijustifikasi sebagai ancaman, dibuktikan dengan data yang dimiliki lembaganya selama lima tahun ke belakang, yaitu adanya 667 kasus kekerasan yang menimpa pembela HAM.
Your browser doesn’t support HTML5
Terkait isu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, katanya, impunitas oleh aparat dan hukuman mati dan belum diratifikasinya peraturan soal penyiksaan dan sejumlah kasus lainnya juga menjadi catatan yang harus diperhatikan pemerintah. [fw/ah]