Dalam diskusi yang digelar secara virtual. Jumat (18/12), Ratna Saptari Sekretaris Jenderal Indonesia Migrant Workers Union (IMWU) Netherland sekaligus akademisi dari Universitas Leiden, Belanda, menjelaskan panjangnya proses imigrasi yang harus dilalui pekerja migran ketika akan bekerja. Mulai dari pemberangkatan, penempatan, perolehan kerja, sampai pengiriman uang ke tanah air maupun deportasi. Dia menambahkan sering terdapat persoalan di sejumlah tahapan itu.
Menurutnya dalam proses itu kerap terjadi masalah yang kemudian berujung pada perdagangan manusia, seperti memberangkatkan calon pekerja migran yang sebenarnya masih anak-anak dengan memalsuan umur mereka.
"Yang membuat masalah lebih rumit adalah keterlibatan aparat penegak hukum dan mafia peradilan dalam rantai perdagangan ini yang memperparah situasi. Hal ini bisa terlihat pula dalam situasi pekerja migran yang ke Belanda," kata Ratna.
Ratna mencontohkan calon pekerja migran ke Belanda dapat memberi uang lebih dari Rp 70 juta kepada para agen yang sering bekerjasama dengan aparat pemerintah lokal pula. Mereka sering dijanjikan upah sampai 1,500 euro sebulan dan tempat tinggal terjamin untuk bekerja di negara Kincir Angin itu.
Namun kemudian agen menghilang, sehingga calon pekerja migran terdampar ketika tiba di bandar udara setempat. Kasus seperti juga terjadi terhadap pekerja migran Indonesia yang bekerja di Portugal karena persyaratan yang ringan untuk memperoleh visa kunjungan ke Portugal.
Ratna, mengungkapkan kebanyakan pekerja migran Indonesia di Belanda yang diberangkatkan menggunakan visa turis atau visa anak buah kapal (ABK), mereka berada dalam situasi ilegal, hanya bisa bekerja di rumah pribadi atau restoran sebagai pekerja tidak berdokumen karena visa turis atau ABK hanya berlaku beberapa pekan.
Hal tersebut mempersulit posisi pekerja migran Indonesia di Belanda dan mereka juga kesulitan mencari tempat tinggal. Selain itu, mereka sering harus tinggal sekamar berenam untuk mengirit biaya sewa atau menetap di rumah majikan sehingga membuat mereka makin rentan.
Ratna menambahkan rumah subsidi bagi warga Belanda berpenghasilan rendah sering disewakan kepada pekerja migran Indonesia dengan harga yang relatif murah. Padahal hal ini dilarang. Jika ada yang melaporkan, sangat mudah bagi polisi menangkap dan mendeportasi mereka.
Menurut Ratna, IMWU Netherland dan organisasi hak asasi manusia lainnya sedang berkampanye untuk mendesak pemerintah Belanda meratifikasi Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) Nomor 189 tentang perlindungan terhadap pekerja di setor rumah tangga.
BP2MI Akui Perlindungan Pekerja Migran Kerap Jadi Komoditas Politik
Pada kesempatan itu, Servulus Bobo Riti, Direktur Sosialisasi dan Kelembagaan Penempatan di Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), mengakui masalah perlindungan pekerja migran kerap menjadi komoditas politik para elit di tanah air, terutama saat akan berlangsungnya pesta demokrasi. Isu ini hilang begitu elit politik menduduki jabatannya.
BACA JUGA: ABK Indonesia Kurang Dapat Perlindungan"Mungkin isu pekerja migran ini hanya seksi pada saat ada isu-isu hangat, ada pekerja migran yang mengalami masalah-masalah yang kemudian mendapatkan perhatian nasional dan internasional, tapi sekejap lewat," ujar Servulus.
Mestinya, lanjut Servulus, ketika elit-elit politik itu sudah meraih jabatan tertentu sehabis pemilihan umum, mereka membuat upaya-upaya perlindungan pekerja migran – misalnya lewat peraturan daerah – dan memajukan kapasitas calon pekerja migran.
Servulus mencontohkan yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurutnya aktor-aktor politik di Nusa Tenggara Timur, sebagai salah satu sumber pekerja migran ilegal, melakukan pembiaran terhadap fenomena pekerja migran ilegal NTT di Malaysia. Dia menillai elit-elit politik di NTT belum sungguh-sungguh menghapus fenomena pekerja migran ilegal dari daerah tersebut.
Dia menambahkan BP2MI sudah meresmikan jalur khusus kedatangan bagi pekerja migran Indonesia di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta.
Pandemi Semakin Ungkap Kerentanan Pekerja Migran
Dalam diskusi tersebut, Rosalia Sciortino, Direktur Asia Timur dan Asia Tenggara di the Rockefeller Foundation, mengatakan pandemi Covid-19 memperlihatkan sangat banyaknya kerentanan dan masalah dalam migrasi. Diperkirakan terdapat 10 juta pekerja migran di Asia tenggara, terutama pekerja migran berkeahlian rendah dan serabutan. Dia menambahkan pekerja migran sangat terdampak oleh pandemi Covid-19.
Rosalia mencontohkan besarnya jumlah pekerja migran yang terinfeksi virus Covid-19 di Singapura.
"Ini karena situasi di dormitori, di tempat mereka tinggal sangat tidak manusiawi dan tidak higienis. Karena mereka dikarantina di dalam dormitori itu selama delapan bulan, setengah dari mereka sudah terinfeksi virus corona," tutur Rosalia.
Di Malaysia juga pekerja migan menghadapi situasi serupa. Mereka dikarantina dalam barak-barak penamoungan tidak sehat dan dianggap sebagai penyebar virus Covid-19.
Menurut Rosalia, karena pandemi Covid-19, pekerja migran mengalami kerugian, antara lain dipotong gajinya, dipulangkan ke negara asal tanpa tahu kapan bisa kembali bekerja di negara tersebut, tanpa jaminan sosial. [fw/em]