Sri Lanka akan Gelar Pilpres Pertama Setelah Krisis Ekonomi

  • Anjana Parischa

FILE - Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe pada upacara peringatan Hari Kemerdekaan ke-76 Sri Lanka di Kolombo, Sri Lanka, 4 Februari 2024.

Sri Lanka akan menggelar pemilihan presiden pertamanya sejak negara itu dilanda krisis ekonomi yang parah dua tahun lalu. Pemungutan suara yang akan diselenggarakan pada 21 September mendatang, akan menjadi referendum mengenai reformasi yang telah membantu menstabilkan ekonomi tetapi juga menyebabkan kesulitan bagi jutaan orang di negara kepulauan itu.

Setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil pemilu pada Jumat (26/7), Presiden Ranil Wickremesinghe mengajukan diri sebagai kandidat independen. Ia telah mengambil alih jabatan pada 2022, setelah protes yang meluas memaksa pendahulunya, Gotabaya Rajapaksa, untuk mengundurkan diri.

Menurut para analis, naiknya Ranil ke jabatan puncak telah mengecewakan para pengunjuk rasa.

"Ini adalah pemilihan yang sangat dinantikan oleh masyarakat karena akan memulihkan pemerintahan dengan mandat rakyat yang hilang dua tahun lalu setelah pemberontakan rakyat terhadap pemerintah yang dipimpin oleh Rajapaksa, yang disalahkan atas salah urus ekonomi dan korupsi besar-besaran," kata Jehan Perera, seorang analis politik di Kolombo kepada VOA.

Wickremesinghe dipilih sebagai presiden oleh Parlemen, sebagian besar dengan dukungan dari anggota parlemen dari partai Rajapaksa.

Isu-isu ekonomi akan mendominasi kampanye lima minggu di negara yang pernah diperingkat sebagai negara berpenghasilan menengah sebelum menghadapi kebangkrutan virtual dan gagal membayar utang luar negerinya.

Wickremesinghe dipuji karena menempatkan ekonomi di jalur pemulihan dengan bantuan paket talangan sebesar $2,9 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF). Ekonomi diharapkan akan tumbuh tiga persen tahun ini, setelah menyusut 7,3 persen dua tahun lalu. Kekurangan bahan bakar, gas untuk memasak, makanan, dan obat-obatan yang parah yang dialami negara itu dua tahun lalu telah mereda dan pemadaman listrik harian selama berjam-jam telah berakhir.

Namun, langkah-langkah penghematan yang diberlakukan oleh pemerintahnya untuk menyelamatkan ekonomi sangat tidak populer. Pajak untuk bisnis dan profesional meningkat dan pemotongan besar-besaran pada subsidi listrik dan utilitas lainnya.

Akibatnya, jutaan warga Sri Lanka menghadapi standar hidup yang anjlok.

“Harga-harga melonjak tiga kali lipat sejak 2022, tetapi bagi sebagian besar orang, pendapatan mereka masih sama. Meskipun benar bahwa sekarang tidak ada antrean panjang untuk makanan dan bensin, itu karena orang-orang tidak mampu membeli banyak barang,” kata Perara.

Laporan Bank Dunia pada April mengatakan bahwa tingkat kemiskinan terus meningkat di negara itu, dengan sekitar 25,9 persen penduduk Sri Lanka hidup di bawah garis kemiskinan tahun lalu.

Partai-partai oposisi telah mengkritik apa yang mereka sebut sebagai “reformasi keras” yang diberlakukan di negara itu.

Saingan utama Wickremesinghe diperkirakan adalah Sajith Premadasa, yang memimpin partai oposisi utama negara itu. Anura Dissanayake, yang memimpin partai kiri yang telah mendapatkan popularitas tahun lalu, diperkirakan akan menjadi pesaing lain untuk jabatan puncak.

“Pihak oposisi mengatakan akan mencabut langkah-langkah penghematan dan akan merundingkan ulang sebagian program IMF, tetapi belum jelas apa sebenarnya yang mereka usulkan,” Paikiasothy Saravanamuttu, direktur eksekutif Center for Policy Alternatives di Kolombo mengatakan kepada VOA.

“Jajak pendapat yang dilakukan selama bulan lalu menunjukkan bahwa suasana hati publik juga tidak setuju dengan reformasi tersebut.”

Saravanamuttu juga menyebut pemilihan presiden penting bagi demokrasi – ini akan menjadi pemungutan suara pertama yang diadakan di negara tersebut sejak runtuhnya perekonomian yang memicu kekacauan politik.

Pemilihan lokal yang seharusnya diadakan tahun lalu, ditunda tanpa batas waktu setelah pemerintah mengatakan tidak memiliki uang untuk melakukan pemungutan suara nasional. [es/ft]