Sri Lanka Perkenalkan RUU untuk Pangkas Kekuasaan Presiden

Petugas keamanan berpatroli di atas kapal di halaman gedung DPR di Kolombo, Sri Lanka 16 Juli 2022. (REUTERS/Adnan Abidi)

Seorang menteri pemerintah Sri Lanka, Rabu (10/8), mengajukan RUU amendemen konstitusi yang akan memangkas kekuasaan presiden kepada Parlemen. Memangkas kekuasaan presiden adalah tuntutan utama para pengunjuk rasa yang menyerukan reformasi politik dan solusi untuk krisis ekonomi terburuk yang sedang dialami negara itu.

RUU yang dipresentasikan Menteri Kehakiman Wijayadasa Rajapakshe itu akan mengalihkan beberapa kekuasaan presiden, termasuk menyerahkan kewenangan untuk menunjuk anggota komisi pemilihan independen, serta para pejabat kepolisian, dinas layanan publik, dan dinas penyelidik suap dan korupsi ke tangan dewan konstitusi yang terdiri dari beberapa anggota parlemen dan tokoh nonpolitik yang dihormati.

Dewan ini bukan pemegang keputusan final. Dewan ini hanya akan merekomendasikan sejumlah kandidat, dan presidenlah yang kemudian menetapkan pilihannya.

BACA JUGA: China Manfaatkan Ketidakmampuan Sri Lanka Bayar Utang Untuk Unjuk Kekuatan Militer

RUU yang akan diperdebatkan ini harus disetujui oleh dua per tiga dari 225 anggota Parlemen Sri Lanka untuk menjadi undang-undang.

Jika disahkan menjadi undang-undang, amendemen tersebut akan memulihkan reformasi demokrasi yang dibuat pada tahun 2015.

Gotabaya Rajapaksa, yang digulingkan sebagai presiden menyusul aksi protes bulan lalu, membatalkan reformasi tersebut dan memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri setelah terpilih menjadi presiden pada 2019.

BACA JUGA: Sri Lanka Tepis Kekhawatiran India tentang Kapal China

Presiden Ranil Wickremesinghe, yang menggantikan Rajapaksa, telah berjanji untuk membatasi kekuasaan kepresidenan dan memperkuat Parlemen dalam menanggapi tuntutan para pengunjuk rasa.

Rakyat Sri Lanka menggelar protes jalanan besar-besaran selama empat bulan terakhir menuntut reformasi demokrasi dan solusi atas keruntuhan ekonomi negara itu.

Para pengunjuk rasa menuding kekeliruan pengelolaan ekonomi dan korupsi yang dilakukan keluarga Rajapaksa sebagai penyebab krisis ekonomi.

Negara kepulauan itu sedang bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendapatkan dana talangan. [ab/uh]