Kehadiran Sriwijaya Air di blantika penerbangan Indonesia sungguh mengagumkan. Dimulai hanya satu pesawat pada 2003, kini maskapai tersebut tercatat sebagai maskapai terbesar ketiga di tanah air. Hal ini, sebagaimana dilansir dari Reuters, Selasa (12/1), tak lepas dari strateginya, yaitu menerbangkan pesawat tua yang murah dan juga memilih rute-rute penerbangan yang banyak diabaikan para pesaing.
Maskapai menengah yang memiliki sedikit penerbangan internasional itu menjadi sorotan publik pada minggu ini ketika Boeing Co 737-500 yang berusia hampir 27 tahun miliknya jatuh di Laut Jawa pada hari Sabtu (9/1). Pesawat tersebut membawa 62 orang di dalamnya.
Perjalanan Sriwijaya dimulai pada 17 tahun yang lalu ketika kakak beradik Chandra dan Hendry Lie -yang keluarganya berkecimpung dalam dalam industri pertambangan timah dan garmen- dan mitra bisnis meluncurkan maskapai ini hanya dengan satu pesawat. Rute yang dipilih adalah kampung halaman mereka di Pangkal Pinang di Pulau Bangka ke Jakarta.
Sriwijaya Air fokus dalam menggarap rute lapis kedua dan ketiga sehingga memiliki pelanggan setia. Strategi ini membantunya dalam merebut hampir 10 persen pangsa pasar, di belakang Lion Air dan Garuda Indonesia.
"Mereka memiliki pendekatan bisnis yang masuk akal," kata sumber industri yang tidak berwenang untuk berbicara di depan umum tentang para pendiri Sriwijaya.
Mereka menggunakan model bisnis konservatif untuk memperoleh pesawat tua dengan harga murah. Langkah itu dipilih daripada membeli pesawat baru seperti yang dilakukan maskapai yang berkembang pesat, seperti Lion Air, Grup AirAsia Malaysia Bhd dan VietJet Aviation JSC Vietnam.
Menurut situs web Planespotters.net, armada Sriwijaya dan anak usaha regionalnya NAM Air, rata-rata berusia hampir 20 tahun. Artinya usia pesawat mereka hampir tiga kali lebih tua daripada miliki Grup Lion Air.
Pesawat nahas yang jatuh dalam musibah Sriwijaya Air adalah jenis Boeing 737-500. Penyedia data penerbangan Cirium mengatakan armada tersebut adalah satu dari hanya 77 pesawat serupa yang tersisa yang masih beroperasi di dunia. Operator lain yang saat ini mengoperasikan Boeing seri serupa adalah termasuk maskapai seperti Nigeria Air Peace dan SCAT Airlines dari Kazakhstan.
BACA JUGA: Buntut Musibah Sriwijaya Air: Keselamatan Penerbangan Indonesia Kembali DisorotDua mantan karyawan Sriwijaya mengatakan kepada Reuters bahwa ada alasan strategis untuk mempertahankan pesawat seri lama karena biaya akuisisi yang lebih murah.
Kapasitas tempat duduk yang lebih kecil, yaitu 120, juga lebih sesuai untuk rute-rute tertentu, seperti Jakarta ke Pontianak.
Sriwijaya tidak segera memberikan komentar.
Strategi Sriwijaya Diuji
Pesawat tua sebenarnya dapat dioperasikan dan aman seperti pesawat yang usianya yang lebih baru jika dirawat dengan tepat. Meskipun hal tersebut membawa konsekuensi, yaitu biaya perawatan yang lebih tinggi dan juga penggunaan bahan bakar yang lebih boros. Kementerian Perhubungan Indonesia mengatakan pada hari Selasa (12/1) bahwa pesawat Sriwijaya yang jatuh telah melewati pemeriksaan kelaikan udara pada bulan Desember.
Meningkatnya biaya pemeliharaan dan harga tarif yang rendah karena persaingan yang memanas membuat Sriwijaya pada tahun 2018 memiliki utang yang besar kepada anak usaha Garuda yang bergerak dalam bidang pemeliharaan pesawat, GMF AeroAsia.
Per 30 September 2020, Sriwijaya dan NAM berutang sekitar $ 63 juta kepada GMF AeroAsia. Garuda telah memperingatkan adanya kerugian perubahan nilai utang Sriwijaya sebesar $ 37,5 juta.
Status posisi keuangannya sejak dimulainya pandemi tidak jelas, tetapi seorang pilot Sriwijaya, yang berbicara tanpa menyebut nama, mengatakan ada pemotongan gaji dan pengurangan jumlah pesawat yang beroperasi selama pandemi. Hal tersebut sejalan dengan banyaknya maskapai penerbangan global lain yang melakukan langkah serupa.
BACA JUGA: Industri Penerbangan Global Terancam Kerugian Finansial BesarPilot tersebut menambahkan bahwa maskapai tersebut juga telah mematuhi semua persyaratan pelatihan dan pemeliharaan selama pandemi.
Planespotters.net mengatakan Sriwijaya dan NAM memiliki 34 pesawat yang setengah dari angka tersebut sedang beroperasi.
"Pertanyaannya sekarang adalah apakah Sriwijaya, yang sudah dalam kondisi kesehatan finansial yang buruk, mampu mengatasi kecelakaan ini, karena Covid-19 telah melumpuhkan semua maskapai," kata Shukor Yusof, kepala konsultan penerbangan Malaysia Endau Analytics. [ah/au]