Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi UU Otsus Papua pada 15 Juli 2021 lalu. Setelah berlangsung hampir 20 tahun, masyarakat diminta tidak melihat dampak Otsus Papua secara hitam-putih.
Permintaan itu datang dari Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar, dalam diskusi daring Forum Merdeka Barat 9, Senin (9/8). Menurutnya, Otsus dan pembangunan Papua adalah sebuah proses penyusunan kebijakan melalui upaya konsultatif. Artinya, program yang dijalankan disusun berdasar apa yang terjadi di bawah, untuk kemudian disusun kebijakan dari atas sesuai kondisi tersebut, dan seluruhnya merupakan proses yang panjang. Karena itu, tidak bisa proses panjang itu hanya diterjemahkan dalam dua kesimpulan, yaitu berhasil atau gagal.
“Otsus berhasil atau gagal itu seperti pertanyaan hitam dan putih. Padahal kita bicara pembangunan itu sebuah proses dari titik A menuju ke titik B. Apabila belum sampai di titik B, setidaknya kita memang berjalan ke titik B dengan baik. Itulah proses, dan kita melihat prosesnya seperti apa,” kata Billy.
Pembangunan Adalah Proses
Billy tidak setuju dengan penilaian banyak pihak yang hanya menilai proses panjang ini dengan dua kesimpulan tadi. Justru, dia meminta seluruh pihak melihat prosesnya. Proses itu, misalnya, dapat dijelaskan melalui perubahan yang terjadi melalui angka-angka.
“Kalau kita lihat jumlah penduduk miskin tahun 2000-an itu angkanya hampir 50 persen, tepatnya 46,5 persen. Tetapi kalau kita melihat tahun 2020 turun drastis menjadi 26,8 persen untuk Papua dan di Papua barat menjadi 21,7 persen. Jauh,” kata Billy.
Indeks Pembangunan Manusia tahun 1996 di Papua itu hanya 60,20. Tahun 2020, kata Billy mengutip data yang ada, angkanya telah meningkat menjadi 65. Angka melek huruf di Papua tahun 2000-an ada di kisaran 70 persen, saat ini di Papua telah mencapai 88 persen.
Your browser doesn’t support HTML5
Billy mengatakan, mereka yang menggunakan perspektif gagal-berhasil atau hitam dan putih, tidak melihat proses yang berjalan dengan baik. Membandingkan angka nasional untuk setiap standar penilaian, dengan angka yang dicapai Papua juga dinilai salah kaprah.
“Pembangunan adalah sebuah progres, dan jangan lupa Otsus baru ada tahun 2001 dan masih terus berjalan ke depannya,” tambah Billy.
Tokoh muda Papua ini juga menilai, yang paling utama saat ini adalah aktor pembangunan disana dan bukan hanya norma atau aturan hukum. Anak-anak muda asli Papua harus memegang kendali untuk melakukan pendekatan-pendekatan berbeda, yang membuat progres pembangunan lebih baik, kata Billy.
Ada Persoalan Implementasi
Sejak tahun 2001 hingga 2020, menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, pemerintah pusat telah menggelontorkan dana Otsus ke Papua sebesar Rp 146,39 triliun. Sayangnya, banyak pihak, terutama tokoh Papua sendiri yang memandang besarnya dana itu tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik dalam forum yang sama menyebut, kebijakan selama hampir dua dasawarsa itu memang masih memiliki persoalan terkait penerapannya di lapangan.
“Masalahnya adalah pada implementasi. Makanya penting kita melihat, ini duduk persoalannya apa. Apakah tataran norma aturannya yang belum sempurna, atau implementasinya yang belum berjalan baik. Ada persoalan tata kelola yang belum baik, ada persoalan moral hazard, ada persoalan transparansi dan sebagainya,” ujar Akmal.
BACA JUGA: Kartu Dana Otsus: Alirkan Uang Langsung ke Masyarakat PapuaKarena ada persoalan implementasi itulah, dalam UU Otsus yang baru telah disusun Peraturan Pemerintah untuk memperjelas tata kelola ke depan. Dasar hukum ini bisa menjadi landasan penerapan program, sehingga dana Otsus yang diserahkan ke Papua dan Papua Barat tepat sasaran.
“Kita berharap agar dana ini langsung menyasar kepada masyarakat, orang asli Papua. Tidak mampir lagi di tataran hierarki birokrasi, yang saya katakan di sisi tata kelola belum berjalan dengan baik, ada persoalan transparansi dan sebagainya,” lanjut Akmal.
Perlu Pengawasan di Daerah
Sementara itu, Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Dorince Mehue mengakui, dana Otsus Rp 146 triliun lebih selama 20 tahun terakhir adalah angka yang besar. Melihat banyaknya penilaian bahwa dana sebesar itu tidak memiliki dampak maksimal bagi Papua, Dorince mengatakan harus ada upaya mengawal pelaksanaan UU Otsus fase 2 dalam 20 tahun ke depan. Dia bahkan meminta evaluasi bisa digelar setiap satu atau lima tahun.
Sayangnya, di sisi lain MRP merupakan lembaga yang tidak memiliki kewenangan pengawasan, khususnya bagi pelaksanaan UU Otsus. “Kami diberikan tugas oleh negara, oleh pemerintah pusat, tetapi kami tidak memiliki fungsi sama sekali untuk mengawasi pelaksanaan atau implementasi Otsus selama 20 tahun. MRP selama 20 tahun seperti singa yang tidak bergigi,” tandas Dorince.
Karena seperti singa tanpa gigi itu, tambahnya, MRP tidak dapat mengawal aspirasi orang asli Papua dalam mewujudkan kesejahteraan melalui dana Otsus. Untuk memaksimalkan fungsi itu, Dorince berharap MRP diberi kewenangan pengawasan hingga 20 tahun ke depan.
Untuk perbaikan ke depan, Dorince mengusulkan adanya perbaikan data kependudukan orang asli Papua sehingga lebih valid. Upaya ini terkait dengan berbagai kebijakan yang akan diterapkan dalam bingkai dana Otsus 20 tahun ke depan.
BACA JUGA: DPR dan Pemerintah Sahkan RUU Otsus Papua“Selain itu, ada dana Otsus fase kedua, sekian persen, harus dibagi diberikan langsung dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai kepada masyarakat asli Papua di kampung-kampung,” ujarnya.
Dengan bantuan semacam itu, Dorince berharap ada kenaikan kesejahteraan masyarakat asli Papua, yang akan mampu meminimalisir gejolak sosial. MRP juga meminta, pemerintah pusat mampu memilih aktor-aktor berintegritas dalam pengelolaan dana Otsus ke depan. Selain itu, belajar dari 20 tahun pertama, tanggung jawab dan transparansi menjadi isu penting terkait implementasi program. [ns/ab]