Ujaran kebencian yang menyebar melalui dunia maya dan kampanye langsung dapat berpengaruh terhadap generasi muda dalam memilih calon pemimpin pada pemilu. Hal tersebut tergambar dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti ujaran kebencian yang juga dosen sekolah tinggi LSPR (London School of Public Relation), Lestari Nurhayati.
Menurutnya, dari 109 responden penelitiannya, 8,1 persen di antara mereka terpengaruh dengan ujaran kebencian dalam menentukan pilihan calon. Penelitian ini dilakukan selama sebulan pada Januari 2017 dengan responden di seluruh wilayah Jakarta.
Your browser doesn’t support HTML5
"Pemilih muda ternyata tidak kebal terhadap ujaran kebencian. Selama ini kan selalu bilang media sosial, media online, cuma kampanye di panggung tidak berpengaruh. Jangan salah, ternyata tetap bahwa semua bentuk ujaran kebencian yang dilakukan berbagai pihak itu bisa mempengaruhi keputusan orang untuk pemilihannya," jelas Lestari Nurhayati saat berdiskusi di Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Lestari mengingatkan agar tidak menyepelekan dampak dari penyebaran ujaran kebencian yang berkisar 8 persen tersebut. Sebab, menurutnya hal tersebut dapat memecah persatuan bangsa karena terus digunakan oleh pihak-pihak yang berkontestasi dalam pemilu.
"Kalau ini digunakan sebagai salah satu cara yang terus menerus oleh pihak-pihak dalam politik untuk memenangkan pencalonan mereka. Maka kita dalam situasi kebangsaan dan kenegaraan yang kritis. Karena kita mempertaruhkan kebhinekatunggalan kita. Kita mempertaruhkan nilai-nilai kebangsaan yang sudah kita jaga," tambahnya.
Sementara Dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia, Laras Sekarasih menjelaskan, maraknya penyebaran ujaran kebencian dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Menurutnya, ujaran kebencian tersebut akan mudah diterima jika sejalan dengan nilai yang diyakini seseorang. Meskipun, fakta yang disampaikan ujaran kebencian tersebut terkadang tidak benar.
"Kita butuh koherensi dalam hidup. Kita butuh naratif yang konsisten. Jadi lebih mudah bagi kita untuk mempercayai atau mengaminkan ujaran yang kita percayai atau kita dukung. Sebaliknya ketika ujaran kebencian tidak sesuai dengan yang kita yakini, itu lebih mudah buat kita terprovokasi," jelas Laras.
Laras menambahkan penyebaran ujaran kebencian akan semakin masif jika pembuatnya adalah orang yang diteladani banyak orang. Karena itu, kata dia, perlu literasi media bagi masyarakat guna mengatasi penyebaran ujaran kebencian.
Psikolog Mellia Christia mengatakan ujaran kebencian pada dasarnya dipicu oleh rasa marah seseorang terhadap sesuatu. Namun, terkadang, ekspresi marah tersebut disampaikan ke orang lain yang memiliki kesamaan dengan orang yang ia benci. Dalam konteks negara, kemarahan tersebut biasanya ditujukan kepada pemimpin daerah atau presiden.
"Kenapa menyerang orang-orang tertentu. Karena orang-orang tertentu menjadi kambing hitam yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakmampuan mereka mencapai apa yang mereka inginkan. Kalau negara, maka orang yang paling bertanggungjawab adalah presiden. Jadi dialah yang dijadikan kambing hitam kemarahan-kemarahan. Atau kalau di daerah adalah gubernurnya," jelas Mellia.
Kemungkinan lain, kata Mellia adalah perasaan marah secara kolektif sebagai pengalaman bangsa yang pernah dijajah Belanda dalam waktu lama. Sehingga ketika, perasaan tersebut tidak dapat disampaikan akan mudah tersulut atau terprovokasi dengan sesuatu lain seperti ujaran kebencian.
Selain itu, kata dia, ujaran kebencian juga disebabkan kegagalan seseorang dalam mengatasi perbedaan di masyarakat. Apalagi di tengah masyarakat Indonesia yang sangat beragam dari sisi agama, budaya, bahasa dan lainnya. Menurutnya, keberagaman ini bisa berpotensi besar dalam menyuburkan ujaran kebencian di Indonesia jika tidak teratasi dengan baik.
Studi LSPR dalam skala kecil. Dibutuhkan studi-studi dalam skala lebih besar untuk memastikan kebenaran bahwa ujaran kebencian yang menyebar melalui dunia maya dan kampanye langsung mempengaruhi generasi muda dalam memilih calon pemimpin pada pemilu. [sm/ab]