Suciwati dan Sejumlah Organisasi HAM Desak Jokowi Jelaskan Dokumen TPF Munir

  • Fathiyah Wardah

Suciwati Munir (tengah) Kamis (26/4) membacakan surat terbuka kepada Presiden Jokowi agar segera menuntaskan kasus pembunuhan suaminya, aktivis HAM Munir. (Foto: VOA/Fathiyah)

Istri mendiang aktivis HAM Munir, Suciwati bersama sejumlah organisasi hak asasi manusia mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menjelaskan secara terbuka keberadaan dokumen hasil penyelidikan TPF Kasus Munir dan mengumumkan hasil investigasi tersebut kepada masyarakat.

Hingga kini hasil penyelidikan tim pencari fakta kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib masih menjadi tanda tanya karena hasil penyelidikan yang telah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hinggaa kini tidak kunjung diumumkan.

Persoalan bertambah rumit karena Presiden Joko Widodo menyatakan dokumen hasil penyelidikan TPF Kasus Munir hilang. Kabar inilah yang memicu kemarahan Suciwati, janda mendiang Munir, dan sejumlah organisasi pemantau hak asasi manusia.

Dalam jumpa pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta, Kamis (26/4), Suciwati membacakan surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menuntaskan kasus pembunuhan Munir.

Suciwati mengatakan ia bersama Kontras, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Imparsial, Amnesty International Indonesia, Omah Munir, dan Setara Institute mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menjelaskan secara terbuka keberadaan dokumen hasil penyelidikan TPF Kasus Munir dan mengumumkan hasil investigasi tersebut kepada masyarakat.

Menurut Suciwati, ini merupakan desakan kesekian kalinya. Dia menekankan sebagai warga negara yang taat pada hukum, sebagai keluarga yang dirugikan dan diabaikan hak keadilannya, dirinya tidak akan berhenti mendesak dan melakukan berbagai upaya untuk meminta pertanggungjawaban presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan atas ketidakjelasan keberadaan dokumen TPF Kasus Munir dan mangkirnya pemerintah untuk mengumumkan hasil penyelidikan tersebut kepada masyarakat.

"Ketidakjelasan keberadaan dokumen Munir adalah bentuk kelalaian serius pemerintahan yang Bapak pimpin dalam menjamin keamanan dokumen atau arsip penting pemerintah. Sikap Bapak Presiden yang tidak juga mengumumkan hasil dokumen tersebut adalah bentuk pembangkangan hukum sekaligus sebagai upaya menghalng-halngi peemenuhan keadilan," ungkap Suciwati dengan nada emosional.

Your browser doesn’t support HTML5

Suciwati dan Sejumlah Organisasi HAM Desak Jokowi Jelaskan Dokumen TPF Munir

Suciwati menambahkan kewajiban pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan kasus Munir adalah kewajiban hukum yang tercantum dalam penetapan kesembilan Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 2004 tentang pembentukan TPF kasus meninggalnya Munir. Ketetapan itu menyatakan pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan TPF Kasus Munir. Dokumen tersebut telah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005 di Istana Negara.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan Amnesty International telah berkali-kali menyuarakan desakan kepada pemerintah Indonesia, kepada jajaran penegak hukum di Indonesia, untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Munir.

Usman Hamid mengatakan salah satu desakan itu dituangkan dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh 16 direktur Amnesty International cabang Australia, Prancis, Jerman, Hong Kong, Jepang, Malaysia, Mongolia, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Inggris, dan Amerika Serikat pada 6 September 2011.

Lebih lanjut Usman menjelaskan desakan Amnesty International kepada Indonesia adalah menuntut Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan baru perkara pembunuhan Munir bersama kepolisian.

"Kasus ini dalam pandangan Amnesty International harus menjadi prioritas. Kalau ini tidak diprioritaskan, maka dia akan memberikan semacam kontribusi pada suasana atau situasi ketakutan di kalangan aktivis-aktivis pembela hak asasi manusia di berbagai tempat, bahwa orang yang bekerja untuk kemanusiaan, membela orang-orang menjadi korban kekerasan, itu bisa dibunuh tanpa ada pertanggungjawaban," tukas Usman.

Usman mengingatkan kembali Munir tewas dalam penerbangan dari Jakarta ke Belanda pada 7 September 2004. Menurut hasil forensik, lanjut dia, Munir mengembuskan napas terakhir karena kandungan racun arsenik yang sangat mematikan.

Usman menambahkan hanya beberapa orang diperiksa dan diadili dalam kasus pembunuhan Munir dan kebanyakan dibebaskan. Salah satunya adalah mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono pada 31 Desember 2008.

Usman menekankan kasus pembunuhan Munir mendapat sorotan luas masyarakat internasional, termasuk dari pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan HAM. Ditambahkannya, pada 2009, pelapor khusus PBB telah menyampaikan pentingnya penyelesaian perkara pembunuhan Munir.

Pada Februari 2010, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pernah membentuk tim dan mengidentifikasi masalah-masalah serius dalam investigasi kepolisian, dalam proses penuntutan oleh kejaksaan, dan proses persidangan kasus pembunuhan Munir. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga merekomendasikan adalah hal sangat diperlukan bagi polisi untuk melakukan sebuah investigasi baru.

Koordinator Kontras Yati Andriyani menilai selama empat tahun pemerintahannya, Presiden Joko Widodo belum memenuhi janji kampanyenya terkait penuntasan beragam kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk peristiwa pembunuhan Munir.

Menurut Yati, Komisi Informasi Publik telah memutuskan hasil investigasi TPF Kasus Munir merupakan dokumen publik dan pemerintah harus mengumumkan hasil tersebut kepada masyarakat.

Yati mengingatkan mantan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi telah menyerahkan salinan dokumen hasil investigasi TPF Kasus Munir pada 26 Oktober 2016 kepada Kementerian Sekretariat Negara dan kebenaran penyerahan salinan dokumen tersebut telah dikonfirmasi oleh Johan Budi, juru bicara kepresidenan.

"Seharusnya polemik tentang ada atau tidaknya keberadaan dokumen TPF Munir sudah tidak relevan lagi. itu sudah ada saat ini. Kalau tetap disebut saat ini tidak ada atau tidak ketahui, itu sama dengan memang ada unsur-unsur kesengajaan agar dokumen ini dianggap hilang dan kemudian karena hilang presiden tidak harus mengumumkan," ujar Yati.

Sebelumnya, Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan lembaganya masih mencari dokumen asli TPF kasus Munir. Lembaganya nantinya akan meneliti dan mencermati secara komprehensif dokumen tersebut.

"Dari sana akan ditentukan langkah-langkah apa yang akan kita lakukan berkenaan dengan rekomendasi dari dokumen dar TPF itu," kata Prasetyo.

Koordinator Kontras Yati Andriyani menegaskan kelalaian berupa hilangnya dokumen TPF Kasus Munir dan ketidakpatuhan berupa tidak diumumkannya hasil penyelidikan kepada publik dapat mengarah pada pelanggaran pidana.

Sesuai pasal 52, 53, dan 55 dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Komisi Informasi Publik, pada pokoknya menyebutkan setiap badan publik atau seseorang yang tidak menyediakan informasi publik, menghilangkan dokumen informasi publik, dapat dikenai hukuman penjara 1-2 tahun dan atau denda sebesar Rp 5-10 juta. [fw/em]