Sulitnya Mencari Berita di Negara Bagian Rakhine yang Bergejolak

Seorang polisi Myanmar berdiri mengamati para wartawan yang tiba di desa Shwe Zar, bagian utara negara bagian Rakhine, Myanmar, 6 September 2017. (Foto: dok).

Lebih dari 300.000 warga etnis Rohingya telah mengungsi dari Myanmar seiring dengan semakin banyaknya bukti tentang terjadinya pembersihan etnis, tuduhan yang ditolak oleh Myanmar.

Namun dengan keterbatasan akses ke daerah yang terimbas dan munculnya laporan-laporan palsu dari sana, pers kini berjuang untuk mendapatkan laporan yang akurat tentang krisis yang terjadi. Wartawan VOA Steve Sandford melaporkan dari negara bagian Rahkine di Myanmar barat dan berikut laporannya.

Seiring dengan meningkatnya kutukan global dengan tuduhan pembersihan etnis oleh tentara Myanmar, pemerintah terus menyalahkan teroris Muslim atas penghancuran dan pengungsian yang terjadi di negara bagian Rakhine.

Dalam upaya untuk lebih transparan, pemerintah Myanmar memberikan akses kepada sekelompok wartawan untuk mengunjungi penduduk desa Hindu yang mengklaim bahwa mereka diserang oleh teroris Muslim.

Tetapi pengecekan menunjukkan bahwa dua di antara para korban juga berpose sebagai yang disebut “teroris Bengali” dalam foto yang disebarkan di media sosial.

Bagi para aktivis hak asasi manusia yang menyelidiki krisis tersebut, seperti Phil Robertson, dari organisasi nirlaba Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York, temuan tersebut telah merusak kredibilitas pemerintah

Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch Asia (Foto: dok).

Deputi Direktur HRW untuk Asia itu mengatakan, “Di satu sisi mereka menunjukkan foto-foto palsu atau cerita-cerita palsu dan kemudian mereka menuduh kelompok-kelompok hak asasi manusia seperti kami dan mengatakan mengapa kalian tidak menyelidiki. Mengapa kalian tidak seimbang? Jadi kami mengatakan, baik, ayo diteruskan. Kami ingin pergi ke daerah-daerah yang ingin kami lihat seperti yang Anda katakan. Mari kita pergi ke mana kita ingin pergi dan melakukan apa yang kita inginkan untuk mencari kebenaran.”

Myanmar telah diperintah oleh diktator militer selama lebih dari 50 tahun sebelum reformasi dimulai, dan pers lokal terbiasa dengan penyensoran media.

Namun, ketegangan yang menurut banyak pihak disebabkan oleh konflik agama itu membuat pengumpulan informasi semakin sulit dilakukan.

Nyein Nyein, wartawan lokal, mengatakan, “Jika Anda berusaha mendapatkan suara dari komunitas Muslim, Anda akan dicurigai oleh ekstremis Arakan dan Anda bisa diancam, dan juga, jika Anda ingin mewawancarai orang Rakhine, sebagian orang akan bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, dan mereka akan dicurigai oleh para tetangga, oleh polisi atau personel intelijen, sehingga mereka akhirnya tidak berani mengatakan apapun."

Selama berpuluh tahun, junta militer yang pernah berkuasa telah mendorong nasionalisme sebagai kekuatan untuk menentang etnis minoritas yang berjuang untuk memperoleh status semi otonomi.

Seorang pria Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh, membangun tempat penampungan untuk keluarganya di kamp pengungsi Taiy Khali, Bangladesh, 20 September 2017.

Di negara bagian Rakhine, pandangan demikian juga dimiliki oleh banyak orang dalam kalangan biksu Buddha yang sangat dihormati oleh masyarakat.

Seorang biksu senior yang ditemui oleh VOA di sebuah jalan di kota Naungdaw, misalnya mengatakan, “Ini adalah operasi orang Bengali. Terorisme Bengali. Ini terorisme.”

Seiring dengan meningkatnya jumlah pengungsi, baik di Myanmar maupun di Bangladesh, banyak orang meragukan apakah wartawan dan para pemantau bisa memperoleh kebenaran yang sesungguhnya. [lt]