Indra Gunawan, guru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1 Pandak, Yogyakarta, mengenalkan tren sustainable fashion sejak dini kepada siswanya. Di kelas 10 dan 11, siswanya diminta berkreasi dengan kain sisa atau yang biasa disebut perca, menjadi lembaran bahan pakaian, yang kemudian akan disulap menjadi produk bernilai seni. Di kelas terakhir, mereka akan menyelesaikan proses itu melalui sebuah karya busana.
“Gimana caranya tidak menimbulkan limbah, satu. Kedua, saya tidak ingin mereka mengeluarkan biaya terlalu banyak untuk praktik, karena di daerah kami ini itu, 80 persen siswanya mempunyai kartu prasejahtera. Jadi jangan sampai kita terlalu memberatkan orang tuanya untuk bahan praktik,” kata Indra kepada VOA, ketika ditanya mengapa sustainable fashion menjadi pilihannya.
Pemerintah memang memberikan subsidi biaya praktik. Namun, untuk mengasah kemampuan siswa, praktik tidak bisa dilakukan sekali, jika perlu bahkan berkali-kali. Praktik membuat pakaian berulang itu, bagi siswa yang berasal dari keluarga prasejahtera, akan menjadi beban dalam pembelian bahan.
Memanfaatkan kain perca dan bahan dari pakaian lama, kata Indra, memberi kesempatan melakukan praktik tidak hanya sekali.
“Nomor tiga, ya itu, mengasah kreativitas dan seni,” lanjut dia.
Karya Indra dan siswa-siswanya telah tampil di banyak gelaran, termasuk Jogja Fashion Week, salah satu pekan mode yang paling awal diselenggarakan di Indonesia. Dia mengusung karyanya dalam jenama Alalea dan SMKN I Pandak.
Teknik yang digunakan di kelas adalah patchwork dan mosaic stitch. Kain perca kecil-kecil yang merupakan sisa bahan atau limbah, digabungkan membentuk motif tertentu. Indra kemudian mengembangkan teknik jahitan vertikal, horisontal maupun diagonal di atas perca itu, agar menghasilkan lembaran yang kuat dan awet.
Siswa bisa mengkreasikan obyek sesuai yang mereka inginkan. Bentuk-bentuk abstrak dipilih di kelas awal, setelah itu mereka bisa membentuk gambar karakter dari game, wajah pahlawan, hingga obyek-obyek lain yang mereka sukai.
Apresiasi datang dari banyak pihak, khususnya para desainer fashion.
“Sudah banyak yang order. Malah yang order itu desainer. Kemudian mereka mengirim foto kepada kami, tolong foto ini dibuat dari susunan perca. Atau minta tolong untuk dibuatkan bolero dengan gambar nuansa seperti ini,” ujar Indra.
“Jadi tidak berkesan murah, karena enggak gampang. Bahannya sih memang murah, tapi nilai artistik dari cara membuatnya itu agak sulit, agak berproses, mulai dari membuat sketsa di kertas, setelah itu kain kecil-kecil itu dipotong menurut bentuk-bentuk dan warna yang dikehendaki. Kemudian dijahit lagi. Proses untuk membuat kain 30x40 sentimeter, itu butuh 4 kali jam pelajaran. Satu jam pelajaran itu 3 jam,” jelas Indra lagi.
Eni Novita, siswa sekolah itu yang belajar menerapkan sustainable fashion pada Indra, mengakui butuh ketelatenan dalam proses ini.
“Kalau sulit sih enggak. Itu bisa jadi sesuatu yang menarik karena Pak Indra bisa memiliki ide menciptakan sesuatu dari barang-barang yang belum tentu bisa digunakan lagi, menjadi busana. Terasa asyik, karena Pak Indra juga mengajar dengan pakaian-pakaian yang menarik,” ujar Eni.
Pengakuan yang sama diberikan Leni Puspita, yang juga pernah belajar di SMKN I Pandak.
BACA JUGA: In Memoriam Djaduk Ferianto: Penyemai Musikus Muda Indonesia“Sebenarnya tidak begitu sulit, namun proses pembuatannya memakan waktu yang lama. Untungnya, kita bisa mengerti cara mengolah perca yang tidak terpakai menjadi barang bermanfaat dan bernilai,” papar Leni.
Ketelatenan Jadi Tantangan
Desainer senior yang sudah menulis lebih 100 buku tentang fesyen, Goet Poespo mengakui keunikan fesyen dari bahan perca, khususnya karya Indra Gunawan ini.
“Saya sangat salut dengan ketekunan serta jiwa artistiknya dalam mengolah limbah bahan perca. Menyulap, menciptakan sesuatu yang baru sama sekali. Sehingga, hasil karyanya merupakan masterpiece karya, seni yang unik. Baik diterapkan untuk busana, maupun untuk kerajinan, dekorasi dan yang lainnya,” ujar dia.
Namun dia juga mengakui, ada tantangan bagi tren ini.
“Tantangannya cuma satu, ketekunan. Gen Z apa mau melakukan itu,” ujar Goet yang masih aktif sebagai dosen tamu fesyen di sejumlah perguruan tinggi.
Goet Poespo adalah “guru” bagi Indra Gunawan dalam mendalami patchwork dan mosaic stitch. Namun menurut Goet, Indra mengolah kembali fabric manipulation dan menghasilkan karya-karya yang belakangan viral.
“Tren mode perca atau patchwork dengan segala variasinya, timbul sejak diperkenalkannya zero waste fashion akhir-akhir ini,” kata dia lagi.
Goet juga sudah menulis sejumlah buku rujukan dalam kaitan zero waste fashion ini, selain berbagai buku dengan tema lain. Pengalamannya, yang sejak 1970 berkarya sebagai desainer pattern maker di Sydney, Australia selama 30 tahun sebelum kembali ke Indonesia, tercurah dalam buku-buku itu.
Di lingkup terbatas, misalnya kampus perguruan tinggi, isu zero waste ini terus dipopulerkan. “Teknik zero waste adalah suatu busana atau pola yang dibuat dengan tidak menyisakan kain sedikitpun, kainnya habis untuk dipakai sebagai busana,” kata Anna Galuh Indreswari, pengajar desain di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Mengubah Persepsi Masyarakat
Selain tantangan dari sisi desainer, menurut Ketua Program Studi D-4 Desain Mode Kriya Batik, ISI Yogyakarta, Anna Galuh Indreswari, sustainable fashion juga memiliki tantangan dari sisi pemakai atau konsumen.
“Tantangannya sebenarnya pola pikir masyarakat untuk tidak misalnya beli baju, kemudian pakai, kemudian dibuang,” kata Galuh.
Tren fesyen berganti setiap tiga bulan, tambah dia, dan bagi sebagian masyarakat tren tersebut diikuti. Dampaknya, limbah atau sampah fesyen terus bertambah dan menjadi salah satu penyumbang sampak terbesar di dunia. Selain dari sisa produksi, limbah fesyen juga berasal dari baju bekas yang dibuang begitu saja, tanpa ada upaya kreatif untuk menjadikannya model baru.
“Jadi, ini juga supaya kita mempunyai gaya hidup baru, bukan hanya memakai bahan atau busana yang baru, tetapi bagaimana kita menciptakan ulang apa yang kita pakaim supaya bisa digunakan kembali,” kata dia.
Selain itu, ada pula tantangan cara pandang. Galuh setuju, ada kesan di masyarakat bahwa pakaian dengan bahan sisa atau kain bekas, tidak cukup punya gengsi. Akibatnya ada keengganan untuk memakainya.
Desain yang menarik bisa menjadi jalan keluar, karena itu akan menutup kekurangannya sebagai bahan sisa atau bahan bekas itu.
Kreasi ulang ini, tambah Galuh membutuhkan pemahaman tentang pola, teknik jahit, dan kreasi mix and match.
Langkah ini juga diterapkan melalui upcycling fashion, bahkan dengan menyediakan mata kuliah tersendiri. Mahasiswa ditugaskan mencari pakaian yang tidak terpakai di almari mereka, kemudian dikreasikan kembali menjadi pakaian baru yang menarik.
Kuncinya adalah menyesuaikan kreasi ini dengan tren yang berkembang saat ini.
Tantangan kreativitas itu juga diakui Indra Gunawan.
“Ini dibutuhkan artistic taste yang tinggi, kemudian kemampuan menjahit yang prima. Kemampuan seni itu kan untuk menata, menyusun, itu kan butuh rasa. Karena nanti itu terdiri dari susunan dan warna, kadang-kadang kalau tidak punya rasa seni, penempatan warnanya enggak bagus,” ujar Indra.
Kombinasinya adalah kemampuan menjahit, untuk menyempurnakan kepekaan artistik itu.
Kabar baiknya adalah hal itu bisa dilatih. Indra sudah membuktikan pada siswa-siswanya, bahwa dengan pengulangan praktik berkali-kali, kreasi mereka akan jauh lebih baik.
Penyumbang Sampah
Tekstil sebagai bahan baku industri fashion menyumbang sampah dan limbah di dunia dalam berbagai bentuk. Dalam proses produksi, pabrik tekstil menghasilkan limbah cair yang berbahaya bagi ekosistem. Prosesnya juga tidak ramah lingkungan, karena menurut Asosiasi Daur Ulang Tekstil Inggris, industri ini di seluruh dunia menghasilkan 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca.
Program Lingkungan PBB menyebut, industri tekstil bertanggung jawab atas 20 persen limbah cair dunia, mencapai 92 miliar meter kubik per tahun, khususnya dalam proses pewarnaan.
BACA JUGA: Pakar: Pemulung Perlu Dintegrasikan ke Sektor Penanggulangan Sampah FormalData Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, Indonesia memproduksi sampah hampir 68,5 juta ton setahun, dengan sampah kain setahun mencapai 2,3 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 3,5 juta ton pada 2030. Sementara di tingkat global, dalam setahun tercipta 92 juta ton limbah tekstil dan diperkirakan akan menjadi 134 juta ton pada 2030.
Dalam posisi seperti inilah, sustainable fashion menjadi salah satu kunci.
“Kalau ini kita kembangkan terus menerus, ini akan menjadi peluang kita untuk bisa mengurangi sampah dan limbah fesyen di negara kita. Berangkat dari kesadaran, kita tanamkan ke masyarakat bahwa sustainable fashion itu sangat penting,” kata Anna Galuh Indreswari. [ns/ab]