Belum lama ini bertepatan dengan hari perayaan kemerdekaan 17 Agustus, sang merah putih terlihat di salah satu sudut bertema Indonesia di taman hiburan Disney Animal Kingdom di kota Orlando, Florida.
Pojokan ini merupakan bagian dari sekitar 30 kios “Wilderness Explorers,” yang mengajak para pengunjung untuk berpetualang sambil mempelajari beragam kebudayaan yang unik.
Terlihat pula dua wajah Indonesia yang dengan ramah menyapa para pengunjung yang tengah berlibur, sambil menjelaskan tentang Indonesia.
Mereka adalah Alfian Rusli dan Fenesha Flourencia, dua karyawan asal Indonesia yang khusus dipercaya menjadi wakil budaya selama satu tahun sebagai bagian dari Cultural Representative Program, yang diselenggarakan oleh perusahaan Disney di Amerika.
“Untuk (perayaan kemerdekaan) tahun ini aku dan partner kerja aku, kita perform main angklung,” cerita Fenesha Flourencia kepada VOA belum lama ini.
Setiap tahunnya, Disney memilih perwakilan dari tiga negara di Asia Tenggara, India, Indonesia dan Thailand untuk mengajarkan kepada para pengunjung Disney Animal Kingdom, mengenai kebudayaan Indonesia, termasuk konservasi binatang, mengingat taman hiburan ini memiliki macan Sumatra dan komodo.
“Yang banyak ditanyakan itu makanan, sama tentang minta rekomendasi kalau liburan ke Indonesia,” jelas Alfian Rusli kepada VOA.
Selain Bali yang memang banyak dikenal, Alfian biasanya juga menganjurkan para pengunjung untuk pergi ke Yogyakarta.
Memang Disney memilih wakil budaya yang bisa menjelaskan mengenai hal-hal dasar dari setiap negara. Namun, Fenesha mengaku jika pengetahuannya tentang Indonesia menjadi bertambah dengan mengikuti program ini. Ia pun juga baru mempelajari angklung setelah bekerja sebagai wakil budaya di Disney.
“Kalau setiap hari ketemu (pengunjung), terus obrolannya cuma itu-itu aja kan takutnya jadi bosan sendiri. Jadi kita harus tetap belajar, cari tahu, memperkaya lagi ilmu tentang Indonesia, ‘oh ternyata Indonesia tuh besar banget, budayanya tuh luas banget, banyak hal baru yang bisa sebenarnya unik dan bisa di share ke tamu-tamu’” jelas perempuan kelahiran tahun 1992 ini.
Selain angklung, Alfian sendiri kerap mengajarkan tarian tradisional Indonesia kepada para pengunjung.
“Aku sehari-harinya itu pasti ngajarin tari tor-tor dikit. Terus waktu hari kemerdekaan Indonesia, aku ngajarin tari saman,” kata pria kelahiran tahun 1991 ini.
Yang paling berkesan adalah saat bertemu dengan anak-anak kecil yang mampir ke kios Indonesia.
“Mengedukasi (anak-anak kecil) tuh kayak enggak kerja gitu loh, kayak ngobrol biasa, terus kayak asik aja gitu. Itu pengalaman yang paling mengesankan yang paling aku sukai,” kata Alfian yang pernah bergabung di Jakarta performing arts Community sewaktu di Indonesia.
Pakaian yang dikenakan oleh para wakil budaya ini pun terlihat menonjol, yang memperkenalkan keunikan dari masing-masing negara.
“Nah, ini bagian yang aku suka, karena aku kerjanya itu setiap hari kerja aku pakai batik,” jelas Alfian.
Para pengunjung pun banyak yang bertanya tentang baju batik yang dikenakan oleh Alfiam yang ternyata disediakan khusus oleh Disney.
“Kita juga boleh bawa dari (Indonesia), tapi harus (ada) approval dari Disney,” tambahnya.
Sejak kecil Fenesha dan Alfian memang gemar menonton film-film Disney. Siapa yang menyangka jika mereka kini bisa bekerja untuk perusahan Disney.
Alfian sendiri mengetahui tentang pekerjaan ini secara tidak sengaja dari salah seorang temannya yang juga alumni dari program Disney yang sama ini. Awalnya, Alfian yang sebelum berangkat ke Amerika bekerja di bidang marketing untuk sebuah perusahaan asuransi di Jakarta, sebenarnya tengah mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 ke Amerika.
“Ternyata Disney buka rekrutmen duluan, terus aku apply Disney ini. Eh, nggak tahunya keterima duluan,” kenang Alfian yang suka dengan film karya Disney, seperti “101 Dalmation,” “the Little Mermaid,” dan “Mulan.”
Fenesha yang sudah sekitar sembilan bulan bekerja di Disney mengaku tahu tentang pekerjaan ini dari Internet.
“Dulu iseng aja googling, how to work as Indonesian people at Disney. Udah gitu aja. Terus muncul ini, South East Asia Cultural Representative. Terus memang ternyata mereka secara spesifik butuh orang Indonesia,” katanya.
Syaratnya harus berusia di atas 18 tahun dan bisa berbincang dalam bahasa Inggris, serta paham tentang Indonesia.
“Kalau sulitnya mungkin sekarang saingannya aja sih. Aku kurang tahu kurang lebihnya berapa orang yang coba apply. Tapi kayakya sih sudah cukup banyak sekarang-sekarang ini yang tahu tentang program ini, jadi bersaing di antara (pendaftar) yang ada aja,” ujar Fenesha yang sebelumnya sempat bekerja sebagai asisten psikolog di Jakarta ini.
Alfian sendiri banyak mendengar cerita dari para alumni wakil budaya Disney yang tidak langsung diterima di pekerjaan ini. Bahkan, ada yang harus menunggu hingga berbulan-bulan.
“Jadi tips-nya tuh pantang menyerah, karena dulu alumni-alumni aku dengar nggak semuanya mulus dapat kerja ini. Jadi ada yang harus nunggu tujuh bulan, ada yang harus apply tiga kali baru lolos, pokoknya pantang menyerah, terus coba aja. Nanti pasti ada waktunya, kalau udah rezekinya kita, berangkat,” ujarnya.
Wawancara pun dilakukan melalui video call, dimana para calon karyawan ditanya mengenai latar belakang masing-masing, mulai dari pendidikan, keluarga, juga pengalaman berinteraksi dengan warga asing.
Dua perwakilan dari Indonesia dipilih secara terpisah pada bulan April dan Oktober setiap tahunnya. Mereka yang terpilih lalu disediakan tempat tinggal bersama para wakil budaya yang berasal dari berbagai negara, transportasi untuk menuju ke tempat kerja dan pulang, mendapat bayaran sekitar 10 hingga 13 dolar AS per jam atau setara dengan 141 hingga 184 ribu rupiah per jam, untuk bekerja selama minimal 40 jam dalam satu minggu.
“Jadi di Disney Housing Complex itu yang tinggal di sana itu dari berbagai negara, dari seluruh dunia. Itu keren banget. Jadi kita punya teman-teman, kalau di Indonesia istilahnya tuh kita punya teman internasional ya,” ujar Alfian yang dulu mendapat gelar S1 dari STMA Trisakti, jurusan Aktuaria.
Tugas Alfian menjadi wakil budaya di Cultural Representative Program sudah selesai. Kini ia mendapat pekerjaan lain di Disney, sebagai animal conservation educator, yang mengajarkan kepada para pengunjung Disney World tentang konservasi binatang.
“Jadi kesadaran tentang binatang-binatang yang mau punah. Kenapa sih bisa punah? Terus gimana sih caranya (membantu) binatang ini biar nggak punah?” jelasnya.
Tidak hanya itu, impian Alfian untuk melanjutkan pendidikan di Amerika akhirnya pun tercapai. Ia mendapat beasiswa penuh dari Disney untuk kuliah S2 di Bellevue University di Nebraska jurusan Business Analytics. Ini merupakan program pendidikan online yang khusus ditujukan untuk karyawan Disney.
“Jadi kuliah sambil kerja, kayak waktu aku di Indonesia juga,” ujarnya.
Bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan bisa bekerja di perusahaan yang sudah mengena di hati sejak kecil. Walaupun persaingannya tinggi, Fenesha berpesan agar tetap percaya diri, jika memang ingin mengikuti jejak karirnya.
“Tipsnya pede aja, submit (aplikasi) dulu gitu. Jadi jangan takut udah kayak, ‘ah Disney. Nggak mungkin,’ ngga (apa-apa) submit (aplikasi) aja, bikin cover letter yang bagus, bikin tampilan CV yang juga rapi, menarik gitu, terus cari-cari tahu dari misalnya punya kenalan yang mungkin juga pernah ikut program ini. Jadi cari banyak info juga di Google, tentang gimana melalui proses interview-nya,” pungkasnya.