Tambang Pasir Longsor di Magelang, 8 Orang Tewas

  • Nurhadi Sucahyo

U.S. President Joe Biden, first lady Jill Biden and a person wearing an Easter Bunny costume are see on the Blue Room Balcony of the White House in Washington.

Penambangan pasir di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah mengalami longsor Senin (18/12) siang. Delapan korban ditemukan tewas, sementara delapan lainnya luka-luka.

Hari Senin (18/12) malam, ratusan warga Kemburan, Desa Jumoyo, Magelang, Jawa Tengah berkumpul dalam suasana berkabung. Baru beberapa jam sebelumnya, mereka bergotong royong menggali lima lubang kubur di makam setempat. Gerimis dan hawa dingin desa di kaki gunung itu menambah muram suasana.

Mugiyanto, Kepala Dusun Kemburan berkisah, seluruh warga memang tengah berduka. Lima orang dari dusun kecil itu termasuk dalam delapan korban longsoran tebing pasir yang terjadi pada Senin siang.

“Belum selesai semua prosesnya di rumah sakit sampai jam 21.00 ini. ini Pak Lurah barusan berangkat lagi kesana untuk mengambil satu jenazah. Begitu sampai nanti akan langsung kita kebumikan bersama-sama. Semua warga tentu saja kaget dengan musibah ini. Namun Pak Kepala Desa sudah mendatangi rumah korban satu persatu untuk ikut mengurangi kesedihan akibat nasib yang menimpa anak-anak kami itu,” tutur Mugiyanto.

Penambang pasir dan petugas keselamatan mencari korban yang tertimbun. (Foto: BPBD Kab. Magelang).

Hingga pukul 17.00, tercatat enam belas orang menjadi korban bencana itu. Delapan meninggal dunia dan delapan sisanya dirawat di Rumah Sakit Umum Muntilan, Kabupaten Magelang. Pada Senin malam, dua korban luka dirujuk ke Yogyakarta untuk memperoleh penanganan lebih baik.

Menambang pasir memang menjadi profesi sebagian warga di kaki Gunung Merapi. Sungai-sungai yang berhulu di gunung itu, menjadi lokasi tambang di ratusan titik, dengan ribuan penambang yang datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah. Musibah longsor yang terjadi hari Senin, berada di Cawang, hulu Sungai Bebeng, di Kecamatan Srumbung,Kabupaten Magelang. Tebing sungai setinggi sekitar 25 meter tiba-tiba longsor, sementara puluhan penambang sedang bekerja di bawahnya.

Tulkhah Mansur, warga Magelang yang juga penambang mengatakan kepada VOA, ada ribuan orang bekerja di berbagai titik di lereng Gunung Merapi. Meski beresiko, menambang di lokasi seperti ini disukai karena menghasilkan uang lebih besar. Dengan kualitas pasir yang lebih baik, untuk satu kali angkut, sopir truk akan membayar antara Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu. Uang itu kemudian dibagi rata untuk 2-3 penambang yang mengisi pasir satu truk.

“Kalau menambang di bawah itu lebih aman, tetapi kan lahannya harus beli dari warga. Kalau di atas, kan nggak ada yang punya. Tetapi memang risikonya lebih besar. Cuma, uangnya juga lebih banyak jadi penambang kadang memilih ambil resiko di atas,” ujar Mansur.

Kawasan penambangan pasir di lereng Gunung Merapi. (Foto: VOA/Nurhadi)

Tebing longsor yang memakan korban kerap terjadi di kawasan tambang Merapi. Pada Agustus, Oktober dan November tahun ini, selalu ada peristiwa serupa dengan korban minimal satu penambang dalam setiap insiden. Dalam satu bulan, bisa lebih dari satu insiden terjadi.

Menurut catatan paguyuban penambang manual di kawasan tersebut, bencana longsor ini adalah yang terburuk setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Bahan tambang semakin terbatas, sementara diperkirakan ada sekitar 10-15 ribu penambang menggantungkan hidup dari profesi ini. Karena perebutan sumber daya ini, penambang semakin berani menantang resiko meski nyawa menjadi taruhannya.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang untuk sementara memutuskan menghentikan upaya pencarian korban pada Senin Sore. Menurut Kristiawan dari Pusat Pengenadalian Operasi (Pusdalops) BPBD Magelang, sejauh ini 16 korban sudah teridentifikasi, baik yang terluka maupun meninggal dunia. Pencarian sementara dihentikan, karena tidak ada informasi yang pasti mengenai jumlah penambang yang ada di lokasi ketika bencana terjadi.

"Pukul 15.00 hari Senin, operasi pencarian dihentikan sementara karena data korban yang tertimbun itu belum tervalidasi. Jadi, jumlah korban yang tertimbun belum terdata semua. Bukan masalah cuaca maupun waktu yang telah malam, tetapi karena korban yang sebenarnya memang masih simpang siur. Di awal ada yang bilang 11,kemudian menjadi 14 bahkan dikatakan 17. Kita tidak mau mengambil resiko, karena itu akan kita pastikan dulu masih ada yang tertimbun atau tidak,” kata Kristiawan.

Kristiawan menambahkan, data penambang tidak jelas karena lokasi ini adalah penambangan terbuka. Siapapun bisa datang dan kemudian melakukan penambangan tanpa koordinasi kepada pihak tertentu. Yang bisa dilakukan saat ini adalah menunggu respon dari keluarga penambang, jika mereka kehilangan anggota keluarga yang bekerja di kawasan tersebut.

Kawasan Merapi sendiri sebenarnya sudah ditetapkan sebagai Taman Nasional di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun nampaknya, status ini tidak berdampak terhadap operasi penambangan. [ns/al]

Your browser doesn’t support HTML5

Tambang Pasir Longsor di Magelang, 8 Orang Tewas