Warga Australia pemilik sebuah restoran di Timtim berharap untuk memanfaatkan kecintaan mereka akan masakan lokal untuk menanggulangi malnutrisi di negara kecil Asia Tenggara ini.
Timor Timur memiliki angka malnutrisi anak tertinggi di Asia, dengan lebih dari 50 persen anak yang menderita stunting– sebuah kondisi yang mempengaruhi perkembangan mental dan fisik secara permanen – menurut PBB.
Namun kondisi ini bukan disebabkan karena langkanya makanan. Sebaliknya, badan PBB untuk urusan anak-anak, UNICEF, menuding minimnya pendidikan dan pengetahuan tentang bahan pangan yang tersedia secara lokal.
Seorang pekerja lembaga pembangunan yang berganti profesi menjadi pengusaha restoran, Mark Notaras, mengatakan masakan tradisional seperti batar da’an – sejenis sup jagung yang juga disajikan di restoran Agora Food Studio miliknya yang terletak di Ibu Kota Dili dipandang rendah sebagai “makanan orang miskin.”
“Apabila anda berkunjung ke Timor, anda dapat makan di 150 restoran dan tak satu pun yang menyajikannya di daftar menu,” ujarnya kepada Thomson Reuters Foundation.
Notaras dan istrinya, Alva Lim, meluncurkan organisasi nirlaba Timor-Leste Food Innovators Exchange (TLFIX) tahun lalu untuk mengedukasi warga di seluruh penjuru negara itu tentang memasak makanan sehat dengan bahan-bahan yang tersedia di negara itu.
Mereka berharap dapat meyakinkan warga dapat melengkapi pola makan nasi putih dan mie instan – yang menjadi sumber makanan murah berkalori tapi minim gizi – dengan tanaman asli yang tumbuh di negara itu.
“Kami mendorong warga untuk mengkonsumsi beragam bahan pakan yang ada di sekeliling mereka guna meningkatkan asupan gizi mereka,” ujar Notaras.
UNICEF telah melatih para ibu di Timor Timur untuk menyajikan makanan yang lebih bergizi, dengan menunjukkan bagaimana menggabungkan wortel yang tumbuh di sana dan sayuran-sayuran hijau ke dalam nasi yang pada umumnya menjadi sumber makanan bagi anak-anak.
Lim dan Notaras mengambil pendekatan yang lebih inovatif.
“Kami menggunakan dongeng mengenai makanan dan inovasi makanan untuk mendorong penghidupan yang lebih baik, termasuk tingkat asupan gizi,” ujar Notaras.
Dalam upayanya tersebut, mereka bergabung dengan gerakan global untuk kembali memanfaatkan sumber makanan yang tersedia di sekeliling mereka karena makin banyak warga beralih mengkonsumsi makanan impor yang lebih murah tapi kurang bergizi, dari sebelumnya makanan tradisional.
Organisasi-organisasi seperti lembaga nirlaba Bioversity International yang berpusat di Roma mencoba mengubah arah tren yang ada dengan mempromosikan makanan-makanan yang tersedia di lokasi setempat, seperti “bayam Maya” di Amerika Tengah.
Upaya ini membutuhkan intervensi pemerintah melalui penerapan kebijakan yang mendorong tanaman-tanaman lokal dibandingkan bahan impor, selain itu perilaku individu juga harus berubah, ujar Ronnie Vernooy dari Bioversity International.
“Orang mungkin perlu meluangkan waktu untuk berbelanja di pasar tradisional dibandingkan hanya belanja di supermarket,” ujarnya kepada Thomson Reuters Fondation lewat Skype dari Belanda.
Namun upaya ini tidak sesederhana seperti yang dibayangkan.
Beras yang ditanam di Timor Timur harganya bisa tiga kali lebih mahal dibandingkan varietas berkualitas rendah yang diimpor dari Vietnam, ujar Notaras, dan merubah perilaku dan dinamika pasar dapat membutuhkan waktu hingga berpuluh-puluh tahun.
Lim mengatakan ia berharap warga Timor Timur dapat mengurangi konsumsi makanan yang telah mengalami pemrosesan seperti yang telah membanjiri Filipina, dimana keluarganya berasal. Di Filipina, “saus dalam kemasan botol dan sachet” tersedia dimana-mana.
“Ada begitu banyak keragaman di kawasan ini dan saya akan merasa sedih apabila hal ini punah,” ujarnya. [ww/ft]