Hasil penghitungan suara tidak resmi menunjukkan mantan pemimpin gerilya telah unggul dalam Pilpres Timor Leste. Sebuah pemilu pertama yang dilaksanakan tanpa pendampingan PBB sejak pasukan penjaga perdamaian tersebut mengakhiri tugasnya di tahun 2012.
Hasil penghitungan yang diumumkan hari Selasa oleh KPU negara itu mengindikasikan bahwa Fransisco “Lu-Olo” Guterres unggul secara meyakinkan dari kandidat Partai Demokrasi, Antonio da Conceicao, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Urusan Sosial.
Hasil resmi diperkirakan tidak akan diumumkan hingga pekan depan, namun dengan selesainya penghitungan 70 persen suara, Lu-Olo, seorang mantan komandan gerilyawan berusia 62 tahun yang mewakili Fretilin, partai tradisional yang dahulunya terlibat dalam perlawanan melawan kekuasaan Indonesia, telah unggul dengan 60 persen suara. Sementara Da Conceicao meraih 30 persen suara dan menyatakan ia siap untuk menerima apapun hasilnya. Suara pemilih sisanya terbagi kepada enam kandidat lainnya.
Presiden Timor Leste umumnya hanya berperan dalam fungsi-fungsi seremonial saja.
Warga Timor Leste secara meyakinkan pada tahun 1999 memberikan suaranya untuk memisahkan diri dari kekuasaan brutal Indonesia selama 24 tahun yang menewaskan lebih dari 170.000 orang. Kaum militer Indonesia dan milisi pro-Indonesia merespon referendum kemerdekaan dengan tindakan bumi hangus yang meluluhlantakkan setengah dari pulau yang adalah wilayah Timor Timur.
Transisi dari bangsa yang masih muda ini menuju alam demokrasi telah dipenuhi dengan gejolak, dimana para pemimpinnya harus menanggulangi tingkat kemiskinan yang sangat tinggi, pengangguran, dan korupsi sementara bangsa itu terus berjuang dengan warisan perang kemerdekaan yang menumpahkan darah.
Ini adalah usaha ketiga Lu-Olo untuk memenangkan jabatan kepresidenan sejak tahun 2007, saat Jose Ramos-Horta, seorang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, meraih kemenangan mudah dalam pemilihan putaran kedua. Lu Olo kalah dari pejabat Presiden sekarang, Taur Matan Ruak dalam pemilu tahun 2012, namun saat ini ia mendapatkan dukungan kuat dari tokoh perlawanan dan mantan Perdana Menteri, Xanana Gusmao, yang tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang politik.
“Ini adalah keputusan dari para pemilh, dari rakyat,” ujar Lu-Olo. “Akan terjadi banyak perubahan di banyak aspek dan secara fundamental, saya ingin mengubah kondisi rakyat dalam bidang layanan kesehatan, pendidikan, dan memiliki ekonomi yang kuat untuk mempercepat pembangunan nasional.” Ruak yang juga adalah mantan gerilya tidak mempersiapkan diri untuk menjadi presiden yang kedua kalinya, dan diperkirakan akan mencalonkan diri menjadi perdana menteri dalam pemilihan parlemen yang akan berlangsung pada bulan Juli nanti.
“Kami sudah memberikan suara sesuai dengan pilihan kami,” ujar Ruak. “Saya berterima kasih kepada seluruh rakyat atas pemilu yang berlangsung damai. Ini akan membawa kejayaan pada rakyat dan bangsa kita.”
Jacarias Meta, yang termasuk salah satu dari 740.000 mereka yang berhak untuk memilih, mengatakan ia berharap kondisi ekonomi akan membaik.
“Pemilu ini sangat penting untuk masa depan bangsa kami,” ujar Meta, seorang petani berusia 50 tahun.
“Saya ingin melihat terpilihnya seorang presiden yang baru yang dapat membawa perubahan positif ke tengah masyarakat,” imbuhnya. [ww]