Tantangan Dalam dan Luar Negeri Pascapemilu Presiden Taiwan

Lai Ching-te memenangkan Pilpres Taiwan Sabtu (1/13) lalu, dan baru akan dilantik sebagai Presiden Taiwan pada Mei mendatang.

Lai Ching-te mendeklarasikan kemenangannya Sabtu (1/13) lalu, setelah terpilih menjadi presiden Taiwan berikutnya. Massa pendukung Partai Demokrasi Progresif atau DPP Taiwan turun ke jalan untuk merayakan sejarah baru.

Meski pelantikan Lai baru akan dilangsungkan pada Mei mendatang, sejumlah persoalan dari dalam dan luar negeri sudah menunggu pemimpin baru tersebut.

Kemenangan Lai Ching-te dan DPP dalam pemilu presiden Taiwan yang berlangsung akhir pekan lalu menjadi sinyalemen bahwa Taipei akan meneruskan kebijakan yang telah dijalankan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen di kancah internasional, utamanya terkait hubungan diplomatik antara Taipei dengan Beijing.

Dikutip dari kantor berita Reuters, Lai Ching-te yang saat ini masih aktif menjabat Wakil Presiden Taiwan hingga nantinya dilantik sebagai presiden pada bulan Mei, menyatakan bahwa dia akan menjaga status quo Taiwan, serta berupaya membangun dialog antara Taiwan dan China.

BACA JUGA: Lai Menangkan Pemilu Taiwan, China Berang

"Kami berharap kedua wilayah di Selat Taiwan dapat kembali ke hubungan yang sehat dan harmonis ke depannya. Memang, seperti yang telah Anda sebutkan, Presiden Tsai Ing-wen terus menyampaikan niat baik dalam delapan tahun ini. Sayangnya, China belum memberi tanggapan yang semestinya," ujar Lai dalam pidato kemenangannya (1/13).

Keinginan tersebut mendapat sambutan positif dari para pendukung DPP, meski terdapat keraguan dalam pelaksanaannya karena partai itu kehilangan suara mayoritas pada pemilu tingkat legislatif kali ini. Chang Yu-shan adalah salah seorang pendukung DPP yang hadir dalam deklarasi kemenangan Lai.

Kepada Reuters, ia mengatakan, “Saya sedikit khawatir dengan fakta bahwa tidak ada satu pun dari ketiga partai yang mencapai mayoritas di parlemen. Namun, saya pikir ini adalah pilihan yang dibuat oleh rakyat Taiwan.”

AS mengapresiasi hasil pemilu Taiwan, menyebutnya contoh demokrasi yang sukses didasarkan pada transparansi. Dikutip dari kantor berita Associated Press, ketua delegasi AS Stephen Hadley menegaskan kembali komitmen Amerika untuk Taiwan, sewaktu ia menemui Presiden Taiwan Tsai Ing-wen bersama para delegasi AS hari Senin (1/15).

"Kami menantikan keberlanjutan hubungan antara Taiwan dan Amerika Serikat di bawah pemerintahan yang baru, serta upaya bersama untuk menjaga perdamaian dan stabilitas lintas selat,” tukasnya.

Meski begitu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya tetap tidak mendukung kemerdekaan Taiwan. Kebijakan diplomatik One China Policy atau “Kebijakan Satu China” membuat Amerika Serikat hanya mengakui China sebagai satu-satunya negara berdaulat.

BACA JUGA: Presiden Terpilih Taiwan, Lai, akan Hadapi Kemarahan China

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying menegaskan melalui akun X-nya bahwa apa yang ditanyakan Taiwan adalah urusan dalam negeri China. Fakta bahwa hanya ada satu China di dunia, dan Taiwan adalah bagian dari China, disebut Hua tidak akan berubah.

Kebijakan tersebut juga menjadi alasan bagi Nauru memutuskan untuk tidak lagi mengakui Taiwan sebagai negara berdaulat. Negara kepulauan di Pasifik itu beralih mengakui China. Taipei pun merespons cepat dengan memutus seluruh hubungan diplomatiknya dengan Nauru, termasuk menarik seluruh staff diplomatik dan meminta penutupan kedutaan besar, Senin (1/15).

Perubahan sikap diplomatik Nauru pascapamilu dianggap sebagai bagian dari tekanan China kepada Taiwan. Menteri Luar Negeri Taiwan Tien Chung-kwang kepada media mengatakan, sejak Oktober 2023 pihaknya telah menerima informasi bahwa China secara aktif mendekati tokoh-tokoh politik Nauru, serta menggunakan bantuan finansial untuk mengubah kebijakan diplomasi negara itu.

Sejumlah pakar memperkirakan, bentuk tekanan diplomatik China serupa akan berlanjut, setidaknya hingga Presiden Taiwan Terpilih Lai Ching-te dilantik pada Mei mendatang. [ti/ka]