Bupati Jayapura Mathius Awoitauw menegaskan permintaan pemekaran daerah otonomi baru (DOB) Papua merupakan aspirasi murni masyarakat Papua. Bahkan ia mengatakan bahwa Papua Selatan sudah berjuang selama 20 tahun untuk bisa menjadi daerah sendiri.
“Jadi ini bukan hal yang baru muncul tiba-tiba. Tapi ini adalah aspirasi murni baik dari Papua Selatan, maupun Tabi, Saereri, juga La Pago dan Mee Pago. Aspirasi yang kita dorong adalah berdasarkan wilayah adat, bukan berdasarkan demo-demo di jalan, bukan,” kata Mathius.
“Jadi pada akhirnya, masyarakat itu yang berharap bagaimana DOB ke depan dan itu bisa menjadi harapan mereka untuk merubah percepatan kesejahteraan di Papua, dan Papua Barat,” tambahnya.
Mathius mengungkapkan hal tersebut usai pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) di Istana Kepresidenan, Bogor, Jumat (20/5).
Lebih lanjut ia menjelaskan pertemuan ini dilakukan untuk mengklarifikasi mengenai simpang siurnya informasi mengenai penerapan pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Provinsi Papua dan di dalamnya adalah DOB khusus untuk di Provinsi Papua, yakni ada DOB Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah dan Papua Tengah.
Dalam kesempatan ini, Mathius juga mengatakan bahwa UU Otsus bersifat mengikat di seluruh tanah Papua, sehingga kehadiran UU ini akan memberikan kepastian hukum. Selain itu juga memberikan kepastian hak untuk mengelola ruang-ruang yang dimiliki oleh masyarakat adat berdasarkan tujuh wilayah ada di tanah Papua.
BACA JUGA: Kucuran Uang Lewat Pemekaran Tak Selesaikan Masalah Papua
Maka dari itu, pihaknya melihat bahwa permasalahan otsus tersebut bukan pada pemekaran, tetapi lebih kepada implementasi pelaksanaannya.
“Kita butuh itu, kepastian, karena itu kalau pemekaran itu masalah administrasi pemerintahan, tapi ke Papua itu diikat dengan UU Otsus. Persoalan kita adalah implementasinya, harus konsisten baik itu pemerintah pusat, maupun pemerintah provinsi, pemerintah daerah. Di situ persoalaannya sebenarnya. Jadi masyarakat Papua memang banyak melihat bahwa ini belum maksimal,” tuturnya.
Ia berharap revisi Otsus bisa sesuai dengan harapan masyarakat, terutama yang terkait dengan sektor penguasaan lahan.
“Konflik Papua sebenarnya masalah lahan, karena itu perlu ada kepastian di sini. Dan ini bisa menyelesaikan, mengurangi persoalan di Papua, dan kepastiannya hanya melalui UU Otsus,” katanya.
Selain itu, tambah Mathius, daerah otonomi baru mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, karena secara geografis, memang ini menjadi hambatan utama.
“Berapa pun dananya diturunkan dalam otsus, tapi kalau geografis yang sulit, seperti yang ada sekarang, itu tetap akan mengalami hambatan luar biasa. Karena itu DOB baru adalah solusi untuk bisa mempercepat kesejahteraan Papua dan Papua Barat,” jelasnya.
BACA JUGA: Kekhawatiran akan Dominasi ASN Non-Papua untuk Wilayah Pemekaran Mencuat
Delegasi Ilegal
Dalam siaran persnya Ketua MRP Timotius Murib menyesalkan adanya pertemuan Presiden Jokowi dengan delegasi MRP Papua Barat dan sejumlah orang yang merupakan anggota MRP Papua tersebut.
“Kami menyesalkan adanya pertemuan Presiden yang digunakan untuk memberi penjelasan sepihak dan memberi kesan MRP mendukung kebijakan pemerintah pusat terkait UU Otsus Jilid II dan DOB. Padahal dua kebijakan tersebut tengah kami uji materi di MK. DOB pun sedang diprotes berbagai lapisan masyarakat,” ungkap Timotius.
Ia menegaskan, MRP sampai detik ini masih konsisten menanti putusan MK. Selain itu, Timotius menekankan MRP yang hadir dalam pertemuan dengan Jokowi tidak bisa dikatakan mewakili MRP.
BACA JUGA: Anggota DPD Yorrys Raweyai: Pemekaran Papua Aspirasi Rakyat
“Itu oknum-oknum yang mengatasnamakan MRP. Perbedaan pendapat tentu wajar dalam suatu lembaga. Tapi kehadiran mereka seharusnya melalui mekanisme resmi lembaga. Mereka tidak pernah diberi mandat oleh pimpinan MRP untuk bertemu Presiden. Dugaan kami ada setting-an pihak tertentu,” jelasnya.
Hal ini diyakini oleh Timotius karena tidak ada perjalanan dinas dari lembaga MRP. Maka dari itu, delegasi MRP yang hadir tidak dapat digunakan oleh pemerintah sebagai orang-orang yang mewakili lembaga MRP.
“Mereka tidak memiliki Surat Perintah Tugas (SPT) atau Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD). Yang kami sesalkan adalah pertemuan itu semakin menegaskan upaya pecah belah,” tegasnya.
Perkeruh Suasana
Senada dengan Timotius, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menyayangkan adanya pertemuan yang ia sebut sebagai pertemuan diam-diam yang dilakukan pemerintah.
Pertemuan ini, ujar Usman, mencerminkan adanya proses konsultasi yang semu belaka karena selain dilakukan secara diam-diam. Pihak-pihak yang hadir dalam pertemuan tersebut pun disebut sebagai orang-orang yang cenderung setuju dengan pendapat pemerintah. Maka dari itu, katanya, pertemuan sulit dikatakan sebagai konsultasi yang layak dan dapat dipertanggungjawabkan dan dihadiri oleh MRP yang ilegal.
“Jadi, ini proses partisipasi dan konsultasi yang justru cenderung memperburuk keadaan, memperuncing perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan otoritas politik serta representasi kultural, orang asli papua seperti MRP dan bahkan menimbulkan jarak ketidakpercayaan yang semakin lebar,” ungkap Usman kepada VOA.
Usman juga mengatakan perbedaan sikap atau pandangan antara MRP Provinsi Papua dengan MRP Papua Barat cukup kentara. Pada pertemuan dengan Presiden Jokowi pada 25 April, MRP Provinsi Papua konsisten menyuarakan aspirasi rakyat Papua dengan menolak cara pemerintah membuat UU Otsus atau mengubah UU Otsus tanpa konsultasi yang dibenarkan oleh UU yakni melalui MRP dan DPRP, dan menyampaikan bagaimana dampaknya terhadap perlindungan hak-hak asli orang Papua.
“Sementara orang MRP Papua Barat pimpinannya lebih bicara perpanjangan masa jabatan merek karena mereka mau berakhir, lalu mengusulkan calon pejabat gubernur sementara untuk Papua Barat, lalu menyebut nama-nama lain seputar jabatan lain di daerah. Lalu, meminta pemekaran Papua Barat Daya, dan di antara mereka terlihat tidak satu suara,” paparnya.
“Jadi, saya lihat sedari awal memang MRP Papua Barat lebih cenderung mudah untuk dikendalikan dan memang dari awal banyak sekali orang-orang Papua yang sebenarnya merupakan kepanjangan dari kepentingan politik tertentu di dalam pemerintah pusat,” jelasnya.
Partisipasi Orang Asli Papua
Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mendesak pemerintah untuk menerapkan partisipasi orang asli Papua yang bermakna terutama terkait kebijakan perubahan kedua Undang-Undang (UU) otonomi khusus dan rencana tiga RUU daerah otonomi baru (DOB) di Papua.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Anum Siregar menilai pertemuan itu sebagai upaya politik pecah belah pemerintah pusat terhadap sikap rakyat Papua.
“Jakarta untuk kesekian kalinya melakukan pecah belah. Kami tidak mau terjeba,k apalagi memperuncing ketegangan internal anggota MRP karena itu yang diinginkan oleh pihak-pihak yang mengatur pertemuan itu. Kami menolak politik pecah belah élite-élite pusat atas Papua. Presiden justru jadi ingkar janji atas pertemuan sebelumnya, yaitu menghormati putusan MK,” kata Anum.
BACA JUGA: Pemekaran Papua: Demi Orang Asli atau Nafsu Politisi?
Koalisi kembali mendesak agar rencana DOB dikonsultasikan dengan orang asli Papua, dan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua.
Menurut, Koalisi, konsultasi bermakna harus memenuhi enam syarat. Pertama, dimulai sejak dini pada tahap perencanaan dan persiapan proyek dan dilaksanakan secara berkesinambungan dalam seluruh siklus proyek.
Kedua, mengungkap informasi relevan dan memadai tepat pada waktunya yang dipahami dan mudah dijangkau penduduk yang terkena dampak. Ketiga, dilaksanakan dalam suasana bebas intimidasi atau pemaksaan. Keempat, bersifat inklusif dan peka gender, dan sesuai kelompok-kelompok yang rentan. Keenam, memungkinkan dimasukkannya semua sikap penduduk yang terdampak dan pemangku kepentingan lainnya dalam perancangan proyek, langkah mitigasi, pembagian hasil dan peluang pembangunan, serta masalah di tingkat pelaksanaan. [gi/ah]