Sidang sengketa perolehan suara hasil Pemilihan Presiden 2019 tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Tim kuasa hukum dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah memaparkan bukti dan menghadirkan sejumlah saksi untuk memperkuat keyakinan mereka bahwa kubu Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin telah melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilihan presiden 17 April lalu.
Kini sidang sudah mulai memasuki babak akhir. Senin mendatang (24/6) sembilan anggota majelis hakim Mahkamah Konstitusi akan bermusyawarah secara tertutup untuk menentukan keputusan mereka pada 28 Juni mendatang: apakah menerima atau menolak gugatan yang disampaikan oleh BPN.
Dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, Sabtu (22/6), TKN Joko Widodo-Ma’ruf Amin yakin Mahkamah Konstitusi akan menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh tim kuasa hukum BPN Prabowo-Sandi. Juru bicara bidang hukum TKN Razman Arif Nasution mengatakan peluang BPN untuk menang gugatan di Mahkamah Konstitusi sangat lemah sekali. Dia mencontohkan seorang saksi dari Kalimantan Barat yang keterangannya berubah-ubah.
Razman menegaskan kalau ingin menang dalam sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi, faktor kuantitatif itu nomor satu.
"Sepanjang itu (kecurangan dalam bentuk kuantitatif) sulit untuk dibuktikan, maka faktor kualitatif itu akan keliru dan tidak memberi manfaat apa-apa," kata Razman.
Sementara itu Ketua Kode Inisiatif Veri Junaedi mengatakan bukti-bukti yang disampaikan tim kuasa hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) dalam sidang Mahkamah Konstitusi terkait pemberitaan media, merupakan informasi awal dan bukan sebagai bukti.
"Kalau kita menganalisa berdasarkan permohonan, bukti yang terlihat dalam permohonan, saksi-saksi yang terlihat dalam proses persidangan, di luar dari bukti-bukti tertulis yang sudah disahkan, itu kan kita tidak bisa akses. Menurut saya memang tidak cukup kuat untuk mengatakan terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif," kata Veri.
Alasannya, lanjut Veri, yang disebut terstruktur, sistematis, dan masif adalah terdapat struktur (penyelenggara pemilihan umum, pemerintah, dan aparat keamanan) yang sejak awal mendesain sedemikian rupa pemilihan umumnya curang sehingga dia bisa memenangkan kandidat tertentu. Tapi dia menekankan pembuktian terhadap tudingan kecurangan berlangsung terstruktur dan sistematis harus otentik, kuat, dan berlapis.
Jubir BPN Prabowo-Sandi: Kecurangan Sulit Dibuktikan Secara Konvensional
Juru bicara bidang hukum BPN Hendarsam Marantuko mengatakan pembuktian terhadap kecurangan dalam pemilihan presiden sulit dibuktikan secara konvensional.
"Untuk level pilpres nggak akan bisa terbukti. Contoh kalau semua harus ada surat (bukti tertulis), orang nggak pintar apa? Para pelaku kejahatan demokrasi dalam melakukan praktek dan modus-modusnya, memang mereka nggak mikir apa? Kejahatan itu pasti selangkah lebih maju dibanding hukum," ujar Hendarsam.
Soal independensi sembilan hakim konstitusi tersebut, analis hukum Mahkamah Konstitusi Heru Widodo menegaskan independensi mereka tidak diragukan lagi. Alasannya, mereka adalah orang-orang yang sudah terpilih melalui seleksi ketat dan merupakan perwakilan dari pemerintah (tiga orang), Dewan Perwakilan Rakyat (tiga orang), dan Mahkamah Agung (tiga orang).
Veri Junaedi juga meyakini tentang independensi kesembilan hakim konstitusi itu. Hal itu terlihat ketika majelis hakim memberikan kesempatan yang sangat luas kepada semua pihak, terutama pemohon.
Tensi Politik Turun karena Emosi Publik Mulai Mereda
Pakar psikologi politik, Irfan Aulia, mengatakan tensi politik sudah agak menurun saat ini karena emosi publik sudah mereda. Dia mengklaim puncak emosi publik dalam menyikapi hasil perolehan suara dalam Pemilihan Presiden 2019 terjadi saat kerusuhan 21-22 Mei lalu. Meski begitu, Irfan memandang rasa memiliki sebagai bangsa harus dirajut lagi sehabis pemilihan umum kali ini.
Your browser doesn’t support HTML5
"Karena setelah kita nyoblos, aktor-aktor kita mempertontonkan mereka saling bertikai. Ada purnawirawan dengan prurnawirawan. Ada yang tiba-tiba jadi tersangka, ada ustad yang ditangkap, dan itu sampai sekarang belum berhenti. Ini merusak rasa memiliki sebagai bangsa," tutur Irfan.
Irfan mengakui sidang mengenai sengketa hasil Pemilihan Presiden 2019 tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi akan mempengaruhi publik. Apalagi dengan penetrasi internet yang sudah mencapai ke pedesaan, sehingga masyarakat, lanjutnya, akan mengecek di lapangan apakah yang dikatakan tim kuasa hukum BPN, TKN, dan para saksi sesuai dengan fakta yang terjadi. Kalau tidak sesuai akan muncul rasa ketidakpercayaan. Akan terjadi konflik yang menimbulkan pihak kami dan kubu mereka.
Selain itu, durasi panjang dalam proses pergantian kepemimpinan, dari Pemilihan Umum 17 April hingga Oktober mendatang, membuat masyarakat akan terus dicekoki oleh berita dan informasi seputar pemilihan umum dan pemilihan presiden.
Irfan berharap masyarakat mendapat pencerahan untuk menenangkan emosi yang tidak kelihatan atau diam. Jangan sampai informasi yang simpang siur menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dia pun melihat polarisasi di masyarakat masih belum hilang. [fw/em]