Presiden Amerika Donald Trump berbicara melalui telepon hari Selasa dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Pembicaraan melalui telepon itu berlangsung di tengah-tengah kontroversi seputar perintah Trump untuk melarang masuknya warga 7 negara mayoritas Muslim ke Amerika.
Dalam pernyataan singkat, Gedung Putih menggambarkan bahwa pembicaraan selama 45 menit antara kedua pemimpin itu produktif.
Presiden Erdogan biasanya termasuk di antara yang pertama menentang hal-hal yang dipandangnya sebagai ketidakadilan terhadap kaum Muslim dan Islamofobia. Tetapi kali ini, kata pakar hubungan internasional, Soli Ozel dari Universitas Kadir Has di Istanbul, ia diam mengenai kontroversi larangan perjalanan ke Amerika itu.
"Kebisuannya tentang Trump. Saya bisa mengatakan, mengecewakan, memilukan. Tetapi itu cukup jelas mereka tidak ingin berselisih dengan Trump, ada yang diharapkan dari Trump. Dan dengan Trump, kita tahu dia akan membalas. Itulah sebabnya ia diam."
Salah satu harapan utama Erdogan adalah mengakhiri dukungan militer AS untuk kelompok Kurdi Suriah atau PYD. Milisi Kurdi, YPG, saat ini memimpin perjuangan untuk merebut kota Raqqa, Suriah yang dinyatakan oleh ISIS sebagai ibukota kelompoknya.
Bulan lalu Pentagon menyediakan kendaraan militer untuk koalisi termasuk YPG. Langkah itu mengkhawatirkan Turki, yang menuduh kelompok Kurdi Suriah berafiliasi dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang memerangi pemerintah Turki untuk memperjuangkan hak-hak minoritas.
Pengamat Sinan Ulgen dari Carnegie Institute di Brussels mengatakan, bagaimana Trump bertindak bisa menentukan masa depan hubungan bilateral.
“Kalau pemerintahan Amerika memutuskan untuk memberi senjata kepada PYD, ini pasti akan dipandang sebagai pesan yang tidak bersahabat terhadap Turki, ini juga penting untuk memahami bagaimana hubungan bilateral akan berkembang," katanya.
Sumber kepresidenan Turki mengatakan, Direktur CIA Mike Pompeo akan mengunjungi Turki hari Kamis (9/2).
Agenda kunjungan Direktur CIA adalah membicarakan ulama Turki, Fethullah Gulen yang tinggal di AS. Turki menuntut ekstradisi Gulen, dan menuduhnya menghasut pengikutnya untuk melakukan kudeta yang gagal pada Juli lalu.
Para pengamat mengatakan, Turki punya posisi tawar dalam merundingkan isu ini karena pesawat militer AS menggunakan pangkalan udara Turki dalam perang melawan ISIS. [ps/jm]