Organisasi Migrant Care, Minggu (7/10) di Jakarta, menyatakan data KPU tidak komprehensif dan tidak menjangkau semua buruh migran. Berdasarkan data Laporan Pekerja Global Indonesia yang dirilis Bank Dunia, Indonesia tercatat memiliki 9 juta buruh migran pada 2016. Artinya, ada 7 juta orang yang tak masuk DPT.
Namun itu pun berbeda dengan catatan Kementerian Luar Negeri. Lembaga ini mendata, per Agustus 2017, ada 4,7 juta buruh migran Indonesia dengan rincian 2,8 juta berdokumen dan 1,8 juta tidak berdokumen.
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, mengkritik lemahnya sistem pendataan yang tidak cocok satu sama lain.
“Tapi kenapa datanya nggak ada? Ya selama ini kita punya masalah terkait data. Jadi banyak yang nggak lapor, banyak yang seperti problem yang saya laporkan tadi, sehingga kemudian tidak terdata,” kata Anis menjelaskan kepada VOA.
Dalam laporan Bank Dunia, buruh migran Indonesia sebanyak 32 persen bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. Disusul 19 persen pekerja pertanian dan 18 persen pekerja konstruksi. Sementara sisanya pekerja pabrik, perawat lansia, pekerja toko/restoran/hotel, supir, dan pekerja kapal pesiar.
Anis menjelaskan, para buruh migran menghadapi sejumlah kesulitan ketika pendataan pemilih. Sebab sebagian buruh punya masalah imigrasi atau tidak memegang paspor.
“Satu, mereka sudah lama tinggal di luar negeri. Jadi stateless atau overstayer. Yang kedua, mereka punya dokumen tetapi ditahan majikan. Jadi nggak semua dokumen teman-teman itu dipegang mereka sendiri,” papar lulusan magister hukum Universitas Gadjah Mada ini.
“Yang ketiga, banyak teman-teman itu yang terjebak sindikat. Sesungguhnya mereka berangkat secara prosedural tapi karena terjebak sindikat mereka menjadi korban. Kemudian mereka tidak punya apa-apa,” kata Anis menambahkan.
Situasi itu dibenarkan oleh Siti Badriyah, yang pernah jadi pekerja rumah tangga (PRT) di Brunei Darussalam pada 2004. Dia menjelaskan, buruh migran menghadapi kesulitan berlapis. Kalau pun masuk daftar pemilih, buruh kerap tidak diberi izin pergi ke TPS oleh pemberi kerja.
Dia mendorong kantor perwakilan Indonesia di luar negeri ‘ada diplomasi’ supaya pemberi kerja memberikan izin kepada PRT. Selain itu, dia mengusulkan waktu pencoblosan lebih panjang untuk mengakomodasi jadwal PRT yang padat.
“Waktu juga nggak cuma harinya ditentukan. Kalau di hari yang ditentukan itu majikan umpamanya lagi ada kerja dan nggak bisa mengantar, atau di rumah nggak ada yang nungguin, kan nggak bisa. Jamnya juga. Kemudian dikasih waktu lah, umpama nggak cuma satu hari, mungkin 1 bulan. Pas hari libur itu bisa,” kata Siti Badriyah, yang kini jadi pengawas pemilu luar negeri.
BACA JUGA: Keluarga Gus Dur dan Gusdurian Dukung Jokowi-Ma'rufMenanggapi rendahnya pendataan itu, Kelompok Kerja Pemilih Luar Negeri (Pokja PLN) Kementerian Luar Negeri mengatakan Sudah bertindak maksimal. Ketua pokja ini, Wajid Fauzi, mengatakan telah menggunakan berbagai medium untuk melakukan pendekatan dan sosialisasi.
“Mereka (pemilih luar negeri), dari Jakarta kita dorong, melalui Whatsapp, melalui surat, juga nanti akan kita lakukan melalui video conference, untuk mengundang dan mendorong partisipasi warga negara Indonesia di berbagai bidang pekerjaan untuk berpartisipasi dalam pemilu nanti,” kata Wajid Fauzi menjelaskan.
Migrant Care mendorong adanya perbaikan data menjelang pilpres April mendatang. Dalam DPT LN yang ditetapkan, ada 2.049.791 orang pemilih. Para pemilih itu tersebar dalam 130 Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di lebih dari 90 negara. Pemungutan suara dapat dilakukan lewat TPS, kotak suara keliling, atau melalui pos. [rt/em]
Your browser doesn’t support HTML5