Surat kesepakatan itu ditandatangani dalam pertemuan tertutup di kantor Rektor UGM, Senin (4/2). Sebelumnya, HS terduga pelaku pemerkosaan dan AN yang menjadi korbannya, duduk menunggu di ruang terpisah. Sebagai pihak yang terbelit persoalan di kubu berseberangan, tentu tak mudah bagi keduanya berada dalam satu ruangan. Barangkali, pertemuan itu begitu dingin, sedingin sore selepas hujan yang menyiram Kampus UGM.
Ada banyak jalan masuk menuju kantor Rektor UGM. Tak ada yang tahu, kapan HS dan AN tiba di sana. Keduanya juga tidak hadir ketika kesepakatan damai itu dibacakan rektor di depan jurnalis. Kampus memang sepakat menutut erat identitas keduanya, sebagai bentuk perlindungan.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Erwan Agus Purwanto turut menjadi saksi penandatanganan surat kesepakatan itu. AN adalah mahasiswi di fakultas yang dipimpin Erwan. Ditanya tentang bagaimana ekspresi HS dan AN ketika bertemu, Erwan tak bercerita detil. Tidak ada konfirmasi, apakah HS dan AN saling menyapa selama proses penandatanganan itu.
BACA JUGA: Menuntut Keadilan untuk Korban Pelecehan Seksual di Kampus Biru“Setelah proses penandatanganan, kami undang mereka, lalu dibacakan secara detil, semua diminta mencermati. AN diminta melihat, apakah setuju atau tidak,” kata Erwan. “Prosesnya sangat hati-hati, kami tidak memaksa AN. Kami minta untuk mencermati apakah yang bersangkutan betul-betul menyetujui atau tidak berbagai macam klausul itu,” ujarnya.
Dekan Fakultas Teknik UGM Nizam turut hadir mendampingi HS. Nizam adalah satu dari sedikit orang yang memahami betul kondisi terduga pelaku pemerkosaan itu dalam tiga bulan terakhir.
“Sebagai mahasiswa, karakternya sebenarnya baik. Dia juga menyesal. Saya sebagai dosen, kami biasa kami ngobrol tentang kasus ini. Kami juga bahas dengan orang tuanya juga. Kami dampingi supaya tidak jatuh mentalnya, karena diteror oleh publik, juga oleh pemberitaan,” papar Nizam.
Damai di luar Hukum
Surat kesepakatan damai itu berisi banyak klausul. Baik HS, AN maupun UGM terikat pada skema penyelesaian damai, dengan menyertakan langkah tindak lanjut psikologis dan proses kuliah keduanya. Namun yang melegakan, kata Rektor UGM Panut Mulyono, adalah kesediaan keduanya untuk menyelesaikan kasus ini di luar proses hukum.
“Pihak-pihak terkait dengan kesungguhan hati dan ikhlas, lapang dada, telah saling bersepakat memilih penyelesaian non-litigasi atau penyelesaian internal Universitas Gadjah Mada,” kata Panut Mulyono.
“Saudara HS menyatakan menyesal, mengaku bersalah dan memohon maaf atas perkara yang terjadi pada bulan Juni 2017, kepada pihak saudari AN disaksikan oleh UGM. Kemudian bahwa saudara HS, saudari AN dan UGM menyatakan bahwa perkara ini sudah selesai,” kata Panut menambahkan.
BACA JUGA: ORI Investigasi Lambatnya Penyelesaian Kasus Perkosaan UGMPanut menjelaskan sejumlah klausul yang harus dilakukan. HS diwajibkan mengikuti mandatory counseling (konseling wajib) dengan psikolog klinis yang ditunjuk oleh UGM atau dipilih sendiri sampai dinyatakan selesai. Sementara sebagai korban, AN juga wajib mengikuti trauma konseling dengan psikolog klinis yang ditunjuk oleh UGM atau yang dipilih sendiri sampai selesai. Seluruh dana konseling ini ditanggung sepenuhnya oleh universitas.
Terkait proses kuliah dan pembiayaan, kepada AN sebagai korban, UGM akan memberikan dukungan dana yang dibutuhkan untuk penyelesaian kuliah. Jumlah dana yang diberikan setara dengan besaran beasiswa Bidikmisi, untuk membayar biaya kuliah dan biaya hidup.
Terkait kelulusan, universitas menugaskan masing-masing fakultas untuk memproses kelulusan keduanya, setidaknya pada Mei 2019 dengan catatan seluruh klausul telah dilaksanakan.
UGM Belajar Banyak
Peristiwa itu terjadi akhir Juni 2017 di Pulau Seram, Maluku. Berbulan-bulan setelah itu, AN sebagai korban meminta keadilan kepada pihak kampus, namun justru kekecewaan yang diperoleh. November 2018, Balairung, media kampus setempat melaporkan peristiwa tersebut secara detil dalam laporan panjang. Publik pun gempar.
Universitas itu sempat dikritik karena begitu lambat menangani kasus dugaan perkosaan. Namun, menurut Wakil Rektor UGM Paripurna, mereka bukan lambat, tetapi berhati-hati.
BACA JUGA: Agni: Proses Hukum dan Wajah Kekerasan Seksual“Lama karena menyangkut hal yang sangat sensitif. Kami harus mengutamakan aspek kehati-hatian untuk seminimal mungkin menimbulkan dampak, terutama psikologis kepada mahasiswa yang terlibat kasus tersebut. Memang perlu waktu, karena kasus ini tidak hanya seperti yang tampak dari luar. Kami harus melihatnya sampai ke dalam,” ujar Paripurna.
UGM nampaknya belajar banyak dari kasus ini. Paripurna berjanji akan membenahi segala kekurangan yang ada. Khusus bagi mahasiswa yang akan berangkat dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN), akan diberikan pengarahan khusus.
Dalam klausul yang dibacakan rektor, kampus tersebut juga menetapkan sejumlah langkah perbaikan, belajar dari kasus AN. UGM akan melakukan pembenahan tata kelola penanganan dan pemulihan perkara seperti ini, dengan mekanisme yang jelas. Tindakan itu dilakukan di tingkat fakultas maupun universitas agar perkara serupa tidak terulang di masa depan.
Your browser doesn’t support HTML5
Kampus juga telah membentuk pusat krisis, membentuk tim, dan membuat prosedur standar operasional kasus sejenis. Seluruh mahasiswa juga akan menerima pembekalan untuk mencegah tindak pemerkosaan terjadi di masa depan.
Panduan internal yang dihasilkan UGM dalam penanganan kasus dugaan perkosaan, mungkin bisa menjadi pertimbangan penanganan kasus serupa di Indonesia, meski belum sempurna. Kesepakatan damai itu seolah menjadi prosesi penutupan tirai panggung dari drama tiga bulan. Drama yang melibatkan AN sebagai korban, HS sebagai terduga pelaku, seluruh jajaran universitas dan para aktivis perempuan. [ns/em]