Umat Muslim Puasa di Alaska Hingga 20 Jam

Your browser doesn’t support HTML5

Buka Puasa Diaspora Indonesia di Alaska

Diaspora Indonesia menyebar di berbagai wilayah AS, termasuk negara bagian Alaska di ujung paling Utara benua Amerika. Meski tinggal di daerah yang mengalami siang sangat panjang pada musim panas, warga Muslim asal Indonesia tetap menjalankan ibadah puasa walaupun banyak yang tidak berpuasa mengikuti waktu lokal yang rentang waktu siangnya bisa mencapai hingga 20 jam.

Seperti layaknya buka puasa di Indonesia, acara buka puasa bersama diaspora Indonesia di Achorage Alaska ini dilengkapi dengan sajian berbagai makanan khas Indonesia, termasuk combro. Yang membedakannya dari buka puasa di Indonesia adalah, matahari yang masih bersinar terang walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam.

Eko Apolianto, salah satu warga Indonesia di Anchorage Alaska mengatakan, “Kami mengikuti petunjuk Imam masjid setempat, dan mengikuti waktu puasa di Mekkah. Imam mengatakan kita tidak harus mengikuti ajaran Al-Quran bahwa puasa harus berlangsung hingga matahari terbenam. Kita sesuaikan dengan keadaan setempat, yang penting niatnya.”

Warga Muslim Indonesia di Anchorage ini mengikuti fatwa berpuasa waktu Mekkah, yakni mulai jam 4:15 pagi hingga jam 7 malam. Bila mengikuti waktu Alaska, mereka harus mulai berpuasa dari jam 3:15 pagi dan baru berbuka pada jam 23:45 waktu setempat.

Menurut Elan Manopo yang menjadi tuan rumah acara berbuka puasa, ia dan istrinya pernah berpuasa selama 20 jam setiap harinya saat masih bertugas di Norwegia selama 6 tahun dan ia merasa tidak punya kesulitan mengikuti jadwal puasa lokal.

“Waktu bertugas di Norwegia selama enam tahun, kami berpuasa selama 20 jam karena masjid setempat mengikuti waktu lokal,” tambahnya.

Warga Indonesia lainnya pun yakin mampu menjalankannya puasa dengan penuh meski tantangan berpuasa saat musim panas cukup berat.

Agus Wijaya, warga Indonesia lainnya mengatakan ia tidak merasakan kesulitan yang cukup berarti dalam menjalankan puasa di Alaska, Amerika. “Menurut saya justru lebih enteng di sini. Udara di sini lebih sejuk, selain itu tidak ada godaan makanan, kalau di Indonesia makanannya enak-enak, jadi godaan lebih besar,” tambahnya.