Indonesia mendapat penghargaan dari UNESCO atas keberhasilan program mengurangi buta aksara.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) tahun ini, memberikan penghargaan kepada Indonesia atas keberhasilannya dalam program-program literasi atau pemberantasan buta aksara dunia. Indonesia bersama Bhutan, Rwanda dan Kolumbia didaulat meraih UNESCO’s Literacy Prizes for 2012.
Pengumuman pemenang disampaikan oleh Direktur Jenderal UNESCO, Irina Bokova, yang dipublikasikan lewat laman resmi badan PBB itu Rabu (22/8). Penghargaan akan diserahkan pada upacara yang akan digelar di kantor pusat UNESCO di Paris 6 September mendatang, yang sekaligus sebagai rangkaian perayaan Hari Aksara Internasional yang jatuh pada 8 September.
Terkait penghargaan tersebut, juru bicara kepresidenan bidang hubungan internasional, Teuku Faizasyah mengatakan Kamis (23/8) bahwa Indonesia tentunya merasa terhormat mendapatkan penghargaan yang sejalan dengan komitmen pemerintah untuk terus menigkatkan kemampuan masyarakat Indonsia dalam membaca.
“Harapannya ke depan semakin banyak masyarakat kita yang terbebaskan dari buta huruf, memberikan ruang untuk kemajuan bangsa menjadi semakin meningkat dari waktu ke waktu,” ujar Faizasyah.
Dalam rilisnya, UNESCO menyebutkan, selain penghargaan berupa medali dan sertifikat, penyelenggara pengembangan pendidikan masyarakat di Indonesia berhak memperoleh hadiah sebesar US$200.000.
UNESCO menyampaikan, Indonesia menerima satu dari dua penghargaan bergengsi UNESCO King Sejong Literacy Prizes atas program bertajuk "Peningkatan Kualitas Pendidikan Literasi Melalui Literasi Kewirausahaan, Budaya Membaca, dan Pelatihan Para Pendidik".
Jumlah angka buta huruf di Indonesia mencapai 8,5 juta jiwa, 5,1 juta diantaranya adalah perempuan. Jumlah ini menurun dari 2004 lalu dengan 15 juta penduduk buta huruf, namun masih merupakan angka terbesar di dunia, menurut data Kementerian Pendidikan Nasional.
Saat ini ada 10 provinsi yang tingkat buta hurufnya hingga di atas 10 persen. Provinsi itu diantaranya Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat serta Sulawesi Selatan.
Patricia Wattimena dari Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), yang ikut mendampingi masyarakat terutama anak dan remaja usia sekolah untuk gemar membaca dan mendukung program nasional pengentasan buta huruf, mengatakan penghargaan dunia itu diharap lebih memacu semua pihak terutama pemerintah dalam memprioritaskan program pendidikan.
“Pemerintah supaya lebih memperhatikan masyarakat adat yang di perbatasan, mereka jarang tersentuh oleh pembangunan . Satu desa di Kalimantan Barat, desa perbatasan di sana yang masyarakatnya sekolahnya cuma satu, gurunya cuma satu namanya Ibu Martini, dia merangkap jadi kepala sekolah, pembersih sekolah, tolong berdayakan komunitas adat di perbatasan,” ujarnya.
Tokoh pemuda peduli pendidikan dari Papua, John Pakage, mengatakan anak-anak di perbatasan Papua lebih memilih belajar di negara tetangga Papua Nugini karena minimnya fasilitas dan tenaga guru di Papua membuat program pengentasan buta huruf di wilayahnya belum cukup berhasil.
“Taman bacaan dan fasilitas minim, guru dan sistem pendidikan yang selama ini masih sentralistik, itu harusnya dibuat (kebijakan) lokal,” ujarnya.
Tabrani Yunis dari The Center for Community Development and Education (CCDE) di Aceh mengatakan, masalah-masalah kesenjangan fender mengakibatkan jumlah penyandang buta aksara perempuan lebih besar dari laki-laki.
“Di Indonesia, 60 persen dari angka buta huruf itu adalah perempuan. Pengentasan keaksaraan itu bukan berarti hanya buta huruf, tetapi kemampuan untuk memahami teks dan konteks yang ada itu juga termsuk dalam keaksaraan,” kata Tabrani dari CCDE, yang dijadwalkan hadir dalam puncak peringatan Hari Aksara Internasional September mendatang di Paris.
Pengumuman pemenang disampaikan oleh Direktur Jenderal UNESCO, Irina Bokova, yang dipublikasikan lewat laman resmi badan PBB itu Rabu (22/8). Penghargaan akan diserahkan pada upacara yang akan digelar di kantor pusat UNESCO di Paris 6 September mendatang, yang sekaligus sebagai rangkaian perayaan Hari Aksara Internasional yang jatuh pada 8 September.
Terkait penghargaan tersebut, juru bicara kepresidenan bidang hubungan internasional, Teuku Faizasyah mengatakan Kamis (23/8) bahwa Indonesia tentunya merasa terhormat mendapatkan penghargaan yang sejalan dengan komitmen pemerintah untuk terus menigkatkan kemampuan masyarakat Indonsia dalam membaca.
“Harapannya ke depan semakin banyak masyarakat kita yang terbebaskan dari buta huruf, memberikan ruang untuk kemajuan bangsa menjadi semakin meningkat dari waktu ke waktu,” ujar Faizasyah.
Dalam rilisnya, UNESCO menyebutkan, selain penghargaan berupa medali dan sertifikat, penyelenggara pengembangan pendidikan masyarakat di Indonesia berhak memperoleh hadiah sebesar US$200.000.
UNESCO menyampaikan, Indonesia menerima satu dari dua penghargaan bergengsi UNESCO King Sejong Literacy Prizes atas program bertajuk "Peningkatan Kualitas Pendidikan Literasi Melalui Literasi Kewirausahaan, Budaya Membaca, dan Pelatihan Para Pendidik".
Jumlah angka buta huruf di Indonesia mencapai 8,5 juta jiwa, 5,1 juta diantaranya adalah perempuan. Jumlah ini menurun dari 2004 lalu dengan 15 juta penduduk buta huruf, namun masih merupakan angka terbesar di dunia, menurut data Kementerian Pendidikan Nasional.
Saat ini ada 10 provinsi yang tingkat buta hurufnya hingga di atas 10 persen. Provinsi itu diantaranya Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat serta Sulawesi Selatan.
Patricia Wattimena dari Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), yang ikut mendampingi masyarakat terutama anak dan remaja usia sekolah untuk gemar membaca dan mendukung program nasional pengentasan buta huruf, mengatakan penghargaan dunia itu diharap lebih memacu semua pihak terutama pemerintah dalam memprioritaskan program pendidikan.
“Pemerintah supaya lebih memperhatikan masyarakat adat yang di perbatasan, mereka jarang tersentuh oleh pembangunan . Satu desa di Kalimantan Barat, desa perbatasan di sana yang masyarakatnya sekolahnya cuma satu, gurunya cuma satu namanya Ibu Martini, dia merangkap jadi kepala sekolah, pembersih sekolah, tolong berdayakan komunitas adat di perbatasan,” ujarnya.
Tokoh pemuda peduli pendidikan dari Papua, John Pakage, mengatakan anak-anak di perbatasan Papua lebih memilih belajar di negara tetangga Papua Nugini karena minimnya fasilitas dan tenaga guru di Papua membuat program pengentasan buta huruf di wilayahnya belum cukup berhasil.
“Taman bacaan dan fasilitas minim, guru dan sistem pendidikan yang selama ini masih sentralistik, itu harusnya dibuat (kebijakan) lokal,” ujarnya.
Tabrani Yunis dari The Center for Community Development and Education (CCDE) di Aceh mengatakan, masalah-masalah kesenjangan fender mengakibatkan jumlah penyandang buta aksara perempuan lebih besar dari laki-laki.
“Di Indonesia, 60 persen dari angka buta huruf itu adalah perempuan. Pengentasan keaksaraan itu bukan berarti hanya buta huruf, tetapi kemampuan untuk memahami teks dan konteks yang ada itu juga termsuk dalam keaksaraan,” kata Tabrani dari CCDE, yang dijadwalkan hadir dalam puncak peringatan Hari Aksara Internasional September mendatang di Paris.