Kerusuhan hebat pecah tanggal 22 Mei di kamp pengungsi Coucha di Tunisia timur. Kebakaran itu menewaskan empat warga Eritrea dan menghanguskan 20 tenda.
Lebih dari 4.000 pekerja migran dan pengungsi, terutama dari Somalia, Eritrea, dan Sudan yang meninggalkan Libya, tinggal di kamp pengungsi itu. Kebanyakan telah menunggu lebih dari dua bulan untuk dikirim pulang ke negara mereka atau ke negara lain.
Juru bicara UNHCR Melissa Fleming mengatakan rasa tertekan karena tidak tahu kapan mereka akan dipulangkan ke negaranya luar biasa, dan ini menimbulkan reaksi hebat.
Ia mengatakan tim PBB menyelidiki situasi itu hari Rabu dan mendapatkan dua pertiga kamp pengungsi hangus terbakar atau dijarah.
“Dengan bantuan militer Tunisia kami berupaya membantu orang-orang yang terpaksa ke luar dari kamp itu, paling tidak membantu mendapatkan tempat perlindungan sementara, alas tidur sementara, makanan dan air minum sampai kami bisa mencari cara terbaik untuk membangun kembali kamp itu,” ujar Fleming.
Fleming menyebut situasinya sangat rumit. Ia mengatakan orang-orang itu berasal dari beragam kebangsaan dengan kebutuhan yang berbeda. Ia mengatakan kebanyakan adalah pekerja migran yang sedang menunggu dipulangkan ke negara asal mereka. Lainnya adalah pengungsi yang tidak bisa dipulangkan karena negara asal mereka juga tidak stabil.
“Sekali lagi kami menghimbau negara-negara donor dan negara-negara yang memukimkan mereka agar menambah jumlah sumbangan untuk program evakuasi kemanusiaan Organisasi Migrasi Internasional dan menambah tempat pemukiman bagi pengungsi yang membutuhkannya. Seperti kita ketahui, banyak orang terlantar di perbatasan Tunisia dan tekanan yang diakibatkannya justru bertambah,” papar Fleming.
Fleming mengatakan tekanan tidak akan berkurang dan pemecahan tidak akan bisa ditemukan apabila negara-negara donor tidak mendukung program repatriasi dan pemukiman kembali ini.
UNHCR sejauh ini baru menerima 48 juta dolar dari 80 juta yang dibutuhkan sampai Agustus untuk menanggapi kondisi darurat di Tunisia.