Pejabat UE: Keputusan Trump soal Perjanjian Nuklir Iran "Proses Internal AS"

  • Henry Ridgwell

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini (foto: dok).

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa menjelaskan keputusan Presiden AS, Donald Trump untuk tidak mengesahkan kembali kepatuhan Iran terhadap kesepakatan nuklir 2015 sebagai "proses internal AS."

Negara-negara Eropa, bersama dengan negara penandatangan lainnya, Rusia dan China mengatakan, Iran tetap memenuhi kewajibannya dalam kesepakatan itu. Namun, Presiden Trump mengklaim bahwa Iran telah berulang kali melanggar baik yang tertulis maupun semangat dari kesepakatan itu, yang mencabut sanksi-sanksi dengan imbalan dibatasinya program atom negara itu.

Komisaris Uni Eropa untuk urusan luar negeri, Federica Mogherini mengatakan Senin, kesepakatan Iran adalah "puncak dari diplomasi selama 12 tahun yang difasilitasi oleh Uni Eropa." Mogherini akan melawat ke Washington awal November untuk melobi guna mendukung kesepakatan Iran itu.

"Rencana Aksi Komprehensif Bersama ... adalah unsur penting dari arsitektur global pelucutan nuklir dan penting untuk keamanan kawasan ini," kata Mogherini kepada wartawan.

"Penerapan yang sukses akan terus memastikan bahwa program nuklir Iran secara eksklusif tetap damai," tambahnya.

Trump mengulangi ancamannya untuk sepenuhnya menarik diri dari kesepakatan itu, dengan mengklaim bahwa Iran telah melakukan beberapa pelanggaran dan terus menjadi ancaman keamanan yang serius.

"Mereka merundingkan kesepakatan fenomenal untuk fihak mereka, tetapi kesepakatan yang buruk untuk Amerika. Dan kita tunggu saja apa yang akan terjadi," katanya.

Pada hari Jumat, Trump tidak bersedia melakukan sertifikasi ulang seperti yang diwajibkan oleh Kongres AS. Artinya, Kongres sekarang akan memutuskan langkah selanjutnya. Jika AS berusaha memberlakukan sanksi tambahan terhadap Iran, Eropa memiliki beberapa pilihan untuk menanggapinya, kata analis Paulina Izewicz dari Institut Internasional untuk Studi Strategis.

"Salah satu opsi itu adalah memblokir perundang-undangan, yang secara efektif melarang orang dan entitas Eropa untuk mematuhi sanksi sekunder AS." Namun Izewicz mengakui bahwa opsi tersebut belum teruji.

Menteri luar negeri Jerman memperingatkan, Washington berisiko mengendalikan Eropa "ke posisi yang sama dengan Rusia dan China melawan AS."

"Dari perspektif Beijing, pendekatan Amerika di bawah Trump dinilai sebagai upaya menggertak Iran, yang merupakan mitra strategis China, terutama dalam hal pasokan energi," demikian menurut Profesor Steve Tsang dari London School of Oriental and African Studies.

"Jika Iran telah membuat kesepakatan, dan mematuhinya, namun Amerika secara sepihak mempermasalahkannya dan menuntut lebih banyak; bagaimana mungkin Tiongkok bisa meyakinkan Korea Utara bahwa mengupayakan kesepakatan dengan Amerika dijamin akan berjalan mulus nantinya? "tambah Tsang. [ps/jm]