Usai Perintah Presiden, Konflik di Papua Dikhawatirkan Meningkat

  • Nurhadi Sucahyo

Polisi dan pasukan keamanan terlihat di dekat kendaraan yang dibakar oleh para pekerja perusahaan pertambangan raksasa A.S. Freeport McMoran Inc selama perselisihan perburuhan di Timika, Papua, 19 Agustus 2017. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin)

Perintah Presiden Jokowi kepada TNI dan Polri untuk menangkap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua, berpotensi meningkatkan eskalasi konflik. Sejumlah aktivis HAM menghimbau agar pemerintah memastikan rakyat tidak menjadi korban.

Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua mencatat, ini bukan kali pertama Jokowi memberi instruksi serupa. Direktur lembaga ini, Pendeta Matheus Adadikam S Th memastikan, perintah presiden di Jakarta tentu akan langsung berdampak di Papua.

Pendeta Matheus Adadikam, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua. (Foto: Matheus Adadikam)

“Ini yang kedua, karena pada 2018, presiden juga menyampaikan peryataan yang tidak jauh berbeda dengan hari ini, diikuti oleh Wakil Presiden pada saat itu Pak Jusuf Kalla, dan itu mengakibatkan adanya operasi penumpasan, dan terus berkepanjangan sampai hari ini terjadi lagi," kata Matheus ketika dihubungi VOA.

Matheus juga mengkritisi pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo, yang meminta aparat keamanan menurunkan kekuatan penuh ke Papua. Bamsoet, panggilan akrabnya, bahkan memberi penegasan bahwa tindakan menumpas didahulukan, dan urusan HAM dapat dibicarakan belakangan.

BACA JUGA: Amnesty International Indonesia: Ketua MPR Keliru Soal Tumpas Habis KKB, Abaikan HAM

“Kami melihatnya tidak sesuai dengan pernyataan seorang pemimpin, karena kalau HAM dibelakangkan, itu apa kepentingannya. Sebab, setiap pemimpin dalam level manapun, itu harus menjadikan HAM sebagai sesuatu yang diutamakan. Karena, untuk apa dia menjadi pemimpin? Karena ada manusia, kan?” kata Matheus.

Pemilihan istilah KKB oleh Presiden juga mendapat perhatian khusus dari ELSHAM Papua. Istilah ini menurut Matheus menjadikan kelompok ini tidak jelas. Padahal kelompok ini menyebut diri mereka sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Selain itu, mereka juga memiliki struktur yang jelas. Para aktivis Papua sudah sepakat untuk menyebut gerakan ini sesuai namanya, sehingga tidak dipahami secara keliru.

BACA JUGA: Pemerintah Nilai Otonomi Khusus di Papua Perlu Diperpanjang

ELSHAM Papua dan aktivis koalisi HAM lain, tambah Matheus, mengimbau TNI-Polri dan TPNPB untuk menahan diri.

“Kami juga meminta pihak gereja di Papua untuk melakukan fungsi pastoralnya dan rekonsiliasi. Gereja adalah yang paling dekat dengan masyarakat. Mungkin dengan ini, mereka bisa mendekati pihak-pihak ini, terutama TPNPB ini, sehingga kalau bisa meletakkan senjata,” kata Matheus.

Kepada pihak TNI-Polri, ELSHAM Papua juga meminta penarikan pasukan non-organik, dan menyisakan pasukan organik saja. Dengan demikian, terbuka kesempatan negosiasi demi kemanusiaan.

Tentara dan polisi duduk di atas mobil saat berpatroli di Wamena, Papua, 9 Oktober 2019. (Foto: Antara/M.Risyal Hidayat via REUTERS)

Presiden Jokowi memang telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri mengejar dan menangkap seluruh anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua. Perintah itu disampaikan pada Senin (26/4) menyusul tewasnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua, Brigadir Jenderal TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya.

"Saya tegaskan, tidak ada tempat untuk kelompok-kelompok kriminal bersenjata, baik di tanah Papua maupun di seluruh pelosok tanah air," kata Jokowi dalam konferensi pers daring.

Brigjen Danny menjadi korban kontak tembak TNI dan KKB Papua di Kampung Daungbet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua Minggu (25/4). Dia dikabarkan tertembak di bagian kepala. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Selasa (27/4).

BACA JUGA: Kabinda Papua Gugur, BIN Labeli Kelompok Separatis Sebagai Teroris

Menurut laporan yang ada, TPNPB telah membakar tiga sekolah di Puncak, dan menembak empat warga sipil. Keempatnya adalah dua guru sekolah, satu siswa SMA dan satu orang tukang ojek.

Kepala Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey, juga mengiyakan kemungkinan meningkatkan aksi kekerasan dan jatuhnya korban, usai instruksi presiden ini.

Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits Ramandey.(Foto: Frits Ramandey/koleksi pribadi)

“Jajaran TNI dan Polri akan menyikapi instruksi presiden itu dan harus ada hasil. Harus ada hasil. Karena presiden sebagai kepala negara dan juga komandan tertinggi. Atas perintah itu, kemudian mereka akan melakukan berbagai operasi, baik itu pengejaran maupun penegakan hukum,” kata Frits kepada VOA.

Situasi Kabupaten Puncak saat ini dan instruksi presiden, kata Frits, kemungkinan akan direspon dengan penambahan pasukan dengan eskalasi operasi khusus. Setidaknya akan ada dua dampak yang terjadi. Pertama, ujarnya, adalah kekerasan psikis yang menimbulkan ketakutan dan trauma. Kedua, konflik tentu akan melahirkan korban. Meski di sisi lain, Frits meyakini Panglima TNI dan Kapolri akan mengedepankan penegakan HAM dalam operasi keamanan di Papua.

Your browser doesn’t support HTML5

Usai Perintah Presiden, Konflik di Papua Dikhawatirkan Meningkat

Secara khusus, Frits mengkritisi pernyataan Ketua MPR terkait penanganan konflik Papua. Pernyataan itu, ujarnya tidak mencermikan posisi sebagai pimpinan lembaga negara.

“Saya pikir, pernyataan itu tidak mencerminkan seorang wakil rakyat dan mestinya dia segera menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Papua atau dia langsung mengundurkan diri,” tambah Frits.

Perwakilan Komnas HAM Papua telah menerima mandat Ketua Komnas HAM di Jakarta untuk melakukan pemantauan perkembangan situasi di Kabupaten Puncak. Karena Indonesia pernah duduk di Komisi HAM PBB, menurut Frits, ada kewajiban untuk lebih menghormati HAM dalam upaya penegakan hukum di Papua. [ns/ab]