Utusan Kyiv untuk PBB: Perbatasan Ukraina Tidak Dapat Diubah

Perwakilan Tetap Ukraina untuk PBB Sergiy Kyslytsya (kanan) berbicara dengan duta besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield (tengah) dalam pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB tentang krisis Ukraina, di New York, 21 Februari , 2022. (TIMOTHY A. CLARI / AFP)

Dewan Keamanan PBB bertemu dalam sidang darurat Senin (21/2) larut malam setelah presiden Rusia menandatangani deklarasi yang mengakui dua daerah yang memisahkan diri dari Ukraina sebagai negara-negara merdeka.

“Perbatasan Ukraina yang diakui internasional telah dan akan tetap tidak dapat diubah, terlepas dari pernyataan dan tindakan apa pun oleh Federasi Rusia,” kata duta besar Ukraina untuk PBB Sergiy Kyslytsya kepada Dewan mengenai pengakuan Presiden Vladimir Putin mengenai daerah-daerah di bagian timur, Donetsk dan Luhansk.

“Kami menuntut Rusia untuk membatalkan keputusan mengenai pengakuan dan kembali ke meja perundingan,” ujarnya. “Kami mengutuk perintah pengerahan pasukan pendudukan tambahan Rusia di teritori Ukraina. Kami menuntut penarikan pasukan pendudukan dengan segera, komplet dan terverifikasi.”

BACA JUGA: AS, Sekutu Eropa Siapkan Sanksi Tambahan Setelah Putin Akui Daerah Ukraina yang Pisahkan Diri

AS, Uni Eropa dan Inggris telah mengumumkan mereka menjatuhkan sanksi putaran pertama terhadap Moskow atas tindakan itu, yang melanggar norma-norma dan hukum internasional serta kedaulatan Ukraina. Di Dewan Keamanan, mereka mengukuhkan kembali komitmen terhadap kedaulatan Ukraina.

“Pada saat ini, tidak ada seorang pun yang dapat berdiam diri,” kata Duta Besar AS Linda Thomas-Greenfield. “Kita harus membuat jelas bahwa serangan terhadap Ukraina merupakan serangan terhadap kedaulatan setiap negara anggota PBB dan Piagam PBB – dan ini akan dibalas dengan konsekuensi yang cepat dan keras.”

Ia mengatakan Washington terus meyakini bahwa diplomasi merupakan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan krisis dan menjaga perdamaian.

Para pemimpin Barat dan analis menyatakan langkah ini merupakan dalih bagi Rusia untuk menyerang negara tetangga di bagian selatannya, sesuatu yang hingga sekarang dibantah Moskow dan disebut sebagai “histeria” Barat.

BACA JUGA: PBB: Rusia telah ‘Melanggar’ Kedaulatan Ukraina

Presiden Putin menindaklanjuti pengakuannya dengan perintah bagi apa yang ia sebut pasukan “penjaga perdamaian” agar dikerahkan di kedua daerah yang diduduki Rusia untuk melindungi warga sipil di sana. Sejak 2014, Moskow telah memberikan kewarganegaraan bagi ratusan ribu orang dari etnis Rusia di Donetsk dan Luhansk.

“Ia menyebut mereka penjaga perdamaian, ini omong kosong,” kata utusan AS Thomas-Greenfield. “Kami tahu siapa sebenarnya mereka.”

Para pejabat Barat menyatakan Moskow telah mengerahkan lebih dari 150 ribu tentara di perbatasan Ukraina.

“Beberapa jam dan hari mendatang akan genting,” kata kepala politik PBB Rosemary DiCarlo. “Risiko konflik besar sangat nyata dan harus dicegah dengan cara apa pun.”

BACA JUGA: Putin Tandatangani Dekrit tentang Kemerdekaan Kelompok Separatis Ukraina

Utusan Rusia mengatakan dengan mendengar negara-negara anggota dewan lainnya, orang mungkin mendapat kesan bahwa keputusan Moskow itu mendadak dan terburu-buru.

“Tentu saja, bukan itu masalahnya. Harus diingat bahwa Donetsk dan Luhanks menyatakan kemerdekaan mereka dari Ukraina pada 2014,” kata Vassily Nebenzia. “Tetapi kami baru mengakuinya sekarang, terlepas dari tingginya dukungan di kedua republik dan di masyarakat Rusia sejak awal sekali.”

Ia mengatakan 60 ribu orang telah meninggalkan daerah itu ke Rusia dalam beberapa hari belakangan, seraya menyebut alasan gempuran intensif Ukraina. Kyiv menyatakan tidak menyerang populasi di sana.

Ukraina terletak di antara Uni Eropa dan Rusia, dan mempunyai hubungan dengan keduanya. Jaringan gas membawa gas Rusia dari Ukraina ke Uni Eropa. Penangguhan Ukraina dari perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa memicu kerusuhan saat ini di Ukraina.

Misi Pemantau Khusus Organisasi bagi Kerja Sama Keamanan di Eropa (OSCE) mencatat lebih dari 3.000 gencatan senjata di daerah itu dari 18-20 Februari, termasuk 926 ledakan di wilayah Luhansk, dan 1.100 ledakan di Donetsk. Misi itu tidak menyebut penyebab atau sumbernya.

“Kami tetap terbuka bagi diplomasi, bagi solusi diplomatik,” kata Nebenzia. “Namun, membiarkan pertumpahan darah baru di Donbas bukan sesuatu yang kami ingin lakukan,” katanya mengacu pada nama kolektif wilayah itu.

Para anggota dewan menyatakan dukungan mereka bagi kedaulatan, integritas teritorial dan kemerdekaan politik Ukraina, sambil menyerukan solusi diplomatik.

Ukraina adalah bekas republik Uni Soviet, tetapi meraih kemerdekaannya dalam sebuah referendum pada 1991. [uh/ab]