UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, Jokowi Jamin Keamanan Investor

Tulisan "omnibus law lebih berbahaya dari COVID" tampak di tengah demo buruh memprotes Undang-Undang Cipta Kerja, di Bandung, Jawa Barat, Selasa, 6 Oktober 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November. Bagaimana dampaknya terhadap iklim investasi di Indonesia? Apakah masih akan kondusif?

Presiden Joko Widodo tetap berkomitmen untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, meskipun MK telah memutuskan UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja adalah inkonstitusional secara bersyarat. Ia menjamin keamanan investor dalam berinvestasi di Tanah Air.

Presiden Joko Widodo. (Courtesy: Twitter/@Menlu_RI)

“Oleh karena itu, saya pastikan pada para pelaku usaha, dan para investor dari dalam dan luar negeri, bahwa investasi yang telah dilakukan dan investasi yang sedang dan akan berproses tetap aman dan terjamin. Sekali lagi saya pastikan pemerintah menjamin keamanan dan kepastian investasi di Indonesia,” ungkap Jokowi dalam telekonferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/11).

Jokowi pun telah menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk menindaklanjuti keputusan MK tersebut sesegera mungkin, karena pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU hanya diberikan waktu paling lama dua tahun untuk melakukan segala bentuk perbaikan di dalam UU tersebut.

BACA JUGA: MK Putuskan UU Cipta Kerja Bertentangan dengan UUD 1945

Meski dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat, Jokowi menekankan berdasarkan amar putusan MK UU Cipta Kerja ini masih berlaku selama dilakukan proses perbaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

“Dengan dinyatakan masih berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja oleh MK, maka seluruh materi dan substansi dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan sepenuhnya tetap berlaku tanpa ada satu pasal pun yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK,” jelasnya.

Ia menegaskan, komitmen pemerintah terhadap agenda reformasi struktural, deregulasi dan debirokratisasi akan terus dijalankan. Kepastian hukum dan dukungan pemerintah untuk menciptakan kemudahan berinvestasi akan terus dikawal olehnya, walaupun UU Cipta Kerja ini sedang bermasalah.

Seorang anggota serikat buruh mengenakan ikat kepala bertuliskan "batalkan UU Cipta Kerja" dalam demo memprotes perubahan aturan ketenagakerjaan, Senin, 25 November 2021. (Foto: Reuters)

“Sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum, pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU/18 Tahun 2020,” katanya.

Buruh: Tanggapan Pemerintah Menyesatkan

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyayangkan pernyataan Jokowi yang mencerminkan ketidakpatuhan pemerintah terhadap keputusan MK.

Para buruh merayakan "kemenangan" mereka setelah hakim di Mahkamah Konstitusi membacakan putusan uji materi UU Cipta Kerja agar ditinjau ulang oleh DPR dan Pemerintah Indonesia, Jakarta, 25 November 2021. (Foto: Indra Yoga/VOA)

“Kata-kata dari pemerintah baik dari Presiden maupun menteri yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku karena pasal-pasalnya tidak diubah itu membingungkan, bahkan menyesatkan,” ungkap Said Iqbal.

Ia melanjutkan, keputusan MK memang berupa uji formil. Meski begitu, karena UU Cipta Kerja sudah cacat formil, maka Said menilai bahwa UU tersebut sudah kehilangan obyek sehingga pihak MK tidak perlu melakukan pemeriksaan pasal demi pasal. Oleh karena itu, ia yang mewakili para buruh akan tetap mengawal segala bentuk perbaikan yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam dua tahun ke depan.

“Partai Buruh mendukung sikap gerakan buruh di seluruh Indonesia termasuk sikap KSPI dan lain-lain untuk terus menyuarakan “perlawanan” atau perjuangan agar pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi untuk mematuhi keputusan MK,” tuturnya.

BACA JUGA: Setahun UU Cipta Kerja, Gelombang Penolakan Belum Berhenti

Dalam kesempatan ini, Said menekankan pemerintah perlu mematuhi salah satu keputusan MK yang isinya adalah menangguhkan segala kebijakan atau peraturan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta melarang untuk menerbitkan peraturan baru dalam UU Cipta Kerja ini. Maka dari itu, ia berharap aturan pengupahan kembali mengacu kepada kepada UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.

“Oleh karena itu kami berbeda pendapat dengan pemerintah, terkait dengan menyikapi keputusan MK. Dan para menteri jangan menafsirkan akan mengubah semua peraturan. Perintah MK tidak ada yang mengubah peraturan. Perintah MK adalah memperbaiki prosedurnya, karena cacat prosedur,” jelasnya.

Investor Masih Wait and See

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Faisal menilai dampak dari keputusan MK terhadap iklim investasi di Indonesia tidak akan berdampak signifikan. Para investor, ujar Faisal, dipastikan akan menunggu segala bentuk perbaikan yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam kurun waktu dua tahun dari sejak putusan MK ini.

Para petugas polisi tampak melindungi diri mereka dengan tameng ketika melakukan pengamanan dalam aksi unjuk rasa penentangan terhadap Undang-undang Omnibus di Jakarta, pada 13 Oktober 2020. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

“Jadi mereka akan lihat dalam waktu dua tahun ke depan, bagaimana follow up dari pemerintah terhadap keputusan MK. Apakah dalam dua tahun itu pemerintah betul-betul serius dan bergerak cepat untuk memperbaiki rekomendasi dari keputusan MK tersebut. Jadi sebagian investor akan melihat wait and see,” ungkap Faisal kepada VOA.

Lalu apakah kekisruhan UU Cipta Kerja ini akan menurunkan minat investor untuk berinvestasi di Tanah Air? Faisal melihat investasi yang akan masuk ke Indonesia tidak akan menurun. Ia mencontohkan, selama pandemi COVID-19 investasi yang masuk justru semakin bertambah. Hal ini dikarenakan daya tarik investasi di Indonesia di mata investor masih sangat tinggi.

“Secara umum keunggulan investasi Indonesia itu adalah dari sisi pasar yang besar, tenaga kerja yang banyak, dan bahan baku. Misalnya di pertambangan, kenapa investor ramai-ramai masuk ke investasi di pembangunan smelter misalnya, karena ada bahan bakunya, karena ada dorongan kebijakan pemerintah yang kuat untuk pembangunan smelter,” pungkasnya. [gi/ab]