Vaksin COVID-19 pertama India yang dikembangkan di dalam negeri itu sendiri, ternyata 81 persen efektif melawan penyakit tersebut, demikian yang terlihat dari data yang dirilis hari Rabu (3/3).
Vaksin baru yang disebut Covaxin itu dikembangkan bersama oleh perusahaan farmasi berbasis di Hyderabad, Bharat Biotech dan Dewan Riset Medis India yang didanai pemerintah. Hasilnya diperoleh berdasarkan analisis pendahuluan dari uji klinis tahap akhir yang melibatkan lebih dari 25 ribu sukarelawan berusia antara 18 dan 98 tahun.
Suatu penelitian sebelumnya menunjukkan vaksin dua dosis ini juga efektif melawan virus corona varian Inggris yang baru ditemukan.
“Hari ini merupakan tonggak penting dalam penemuan vaksin, bagi ilmu pengetahuan dan perjuangan kita melawan virus corona,” kata Direktur Bharat Biotech Dr. Krishna Ellis dalam suatu pernyataan tertulis. “Covaxin menunjukkan kecenderungan keampuhan klinis yang tinggi terhadap COVID-19 dan juga imunogenisitas (kemampuan memicu respons imun) yang signifikan terhadap varian-varian yang bermunculan dengan cepat.”
Kabar ini merupakan perkembangan menggembirakan dalam upaya lambat New Delhi untuk memvaksinasi 300 juta dari 1,3 miliar warga India hingga Agustus. Pemerintah telah memberi izin Covaxin untuk penggunaan darurat, dengan PM Narendra Modi menerima dosis pertama vaksin itu sebelumnya pekan ini, bukannya menerima vaksin yang dikembangkan Oxford-AstraZeneca. India telah mencatat lebih dari 11 juta kasus COVID-19 terkukuhkan, terburuk kedua setelah Amerika Serikat
Lebih dari 40 negara telah menunjukkan minat pada Covaxin, termasuk di antaranya Bahrain, Maladewa, Mongolia, Myanmar dan Filipina.
Dalam kabar lain mengenai vaksin, regulator obat Uni Eropa Kamis menyatakan memulai “peninjauan bergulir” terhadap vaksin COVID-19 Sputnik V buatan Rusia.
Di bawah proses tersebut, Badan Obat-obatan Eropa (EMA) akan mengizinkan para peneliti untuk menyerahkan hasil pendahuluan uji klinis mereka untuk dievaluasi segera, dalam upaya mempercepat proses mendapatkan persetujuan akhir. EMA mendapat kecaman yang kian besar karena lambannya proses pemberian izin bagi kandidat vaksin COVID-19, mendorong beberapa negara untuk secara sepihak menyetujui Sputnik V.
BACA JUGA: Vaksin-Vaksin COVID-19 Diluncurkan Walau Tanpa Cukup BuktiSuatu penelitian yang mendapat penelaahan sejawat yang diterbitkan di jurnal kedokteran The Lancet bulan lalu menunjukkan vaksin dua dosis Sputnik V hampir 92 persen efektif mengatasi gejala COVID-19.
Sementara itu, suatu laporan baru menyebutkan negara-negara dengan banyak warganya kelebihan barat badan adalah negara-negara yang memiliki tingkat kematian tertinggi terkait virus corona.
Laporan yang dikeluarkan hari Kamis oleh Federasi Obesitas Dunia menyatakan sekitar 2,2 juta dari 2,5 juta kematian akibat COVID-19 terjadi di negara-negara dengan tingkat obesitas yang tinggi, dengan tingkat kematian 10 kali lebih tinggi di negara-negara di mana 50 persen atau lebih populasinya mengalami kelebihan berat badan, termasuk di antaranya AS, Inggris dan Italia.
BACA JUGA: WHO: Kasus COVID-19 Global Naik Pertama Kali dalam 7 Minggu“Korelasi antara obesitas dan tingkat mortalitas akibat COVID-19 jelas dan menarik,” kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seraya menambahkan bahwa temuan-temuan itu harus dijadikan “sebagai peringatan” bagi pemerintah untuk mengatasi obesitas.
“Investasi dalam kesehatan masyarakat serta tindakan internasional yang terpadu untuk menangani akar penyebab obesitas merupakan salah satu cara terbaik bagi negara-negara untuk membangun ketahanan dalam sistem kesehatan pascapandemi,” ujar Tedros. “Kami mendesak semua negara untuk memanfaatkan kesempatan ini.” [uh/ab]