Vietnam mengadakan dua acara besar terkait kelompok LGBT dan berencana merevisi undang-undang yang lebih mengakui hak pasangan gay.
Meski homoseksualitas tidak melanggar hukum di Vietnam, norma sosial yang konservatif memiliki prasangka buruk terhadap kelompok gay. Namun ada tanda-tanda perubahan di negara tersebut dengan diadakannya dua acara besar bulan ini oleh komunitas-komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), termasuk parade Gay Pride (Kebanggaan Gay) yang melawan diskriminasi terhadap kelompok LGBT.
Lebih dari 100 orang tak memedulikan terik matahari pada Minggu (5/8) untuk bersepeda selama lebih dari dua jam melalui pusat kota Hanoi. Mereka mengibar-ngibarkan bendera pelangi dan spanduk dengan slogan seperti “Saya Cinta LGBT” dan “Berbeda, Bukan Menyimpang.”
Acara tersebut merupakan puncak kegiatan Gay Pride pertama di negara tersebut, yang bertujuan lebih menampilkan komunitas LGBT di mata publik.
Nguyen Thanh Tam, 25, perempuan di balik penyelenggaraan parade sepeda, mengatakan ia gembira dengan hasil acara tersebut, meski pesertanya lebih sedikit dari yang diharapkan.
“Menyenangkan sekali acaranya dan Anda dapat melihatnya di wajah orang-orang saat mereka selesai melakukan parade,” ujarnya. “Saya yakin acara ini, khususnya parade sepeda, akan mengubah LGBT selamanya. Situasi tidak akan sama lagi.”
Tam mengatakan bahwa tampilnya kelompok tersebut di muka publik akan mendorong masyarakat untuk menganggap homoseksualitas sebagai sesuatu yang normal, daripada sesuatu yang menakutkan, seperti penyakit. Adanya liputan media yang membuat acara tersebut menjadi berita utama di kalangan internasional telah membantu mempertegas pesan parade tersebut, ujar Tam.
“Dengan adanya liputan yang masif di media lokal, saya kira kesadaran mengenai komunitas LGBT di Vietnam telah meningkat secara signifikan dan hal ini membuka jalan yang baik bagi pergerakan baru hak-hak LGBT di Vietnam,” tambahnya.
Hanya satu hari sebelumnya, sebuah acara yang jauh lebih besar diadakan di sebuah taman di Ho Chi Minh City tapi dengan pengunjung yang jauh lebih sedikit.
Acara berjudul “Hand-in-Hand” itu menarik lebih dari 1.000 orang yang datang ke taman itu untuk mendukung pernikahan gay. Menggunakan kaos yang senada, kelompok tersebut bernyanyi bersama, dan baik pasangan gay maupun heteroseksual saling bergandengan tangan sambil berciuman di depan umum untuk menunjukkan bahwa mereka ingin mendobrak tabu.
Jacky Tran dari organisasi Support Equal Marriage (Dukung Pernikahan Sejenis) di Vietnam mengatakan bahwa banyak berita mengenai legalisasi pernikahan sesama jenis di banyak negara lain, seperti Amerika Serikat, sehingga ia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membawa diskusi itu ke Vietnam.
Tran mengatakan bahwa banyak orang yang lewat bersorak dan memperlihatkan dukungan mereka selama acara di taman. Namun, tidak semua orang senang melihat mereka.
“Ada sekelompok laki-laki membawa anjing dengan bendera pelangi di punggungnya, dan anjing itu mondar-mandir untuk menunjukkan bahwa kaum LGBT itu seperti anjing,” ujar Tran.
Meskipun tidak ada undang-undang yang melarang homoseksualitas di Vietnam, diskriminasi tumbuh subur.
Kelompok-kelompok LGBT masih sering digambarkan di media sebagai karakter yang aneh. Laki-laki gay sering dipotret sebagai pekerja seks, sebuah stereotip yang ingin dihilangkan oleh para aktivis.
Kasus kekerasan publik terhadap LGBT masih jarang di Vietnam, namun sosiolog Le QuangBinh, direktur Lembaga Penelitian Masyarakat, Ekonomi dan Lingkungan di Hanoi mengatakan bahwa situasi di rumah-rumah dapat berbeda.
“Banyak kisah seperti orangtua yang memukuli anak-anaknya setelah mendapati bahwa mereka gay, misalnya,” ujar Binh. “Dalam penelitian kami, beebrapa orang memberikan tekanan psikologis pada anak-anak mereka. Misalnya saja para orangtua yang membawa anak perempuannya ke danau lalu mengancam akan terjun ke danau jika ia tidak berhenti mencintai perempuan lain.”
Kedua acara di Hanoi dan Ho Chi Minh City menarik kecurigaan dari pihak berwenang. Tran mengatakan bahwa sebagian karena pihak otoritas tidak paham dengan acara-acara bertema hak kaum gay jadi aparat menemuinya untuk bertanya aktivitas seperti apa yang akan dilakukan.
“Setelah itu mereka memberi ijin namun dengan peringatan untuk melakukannya dengan cepat dan tidak memamerkan bendera pelangi yang besar karena mereka tidak tahu apa makna bendera tersebut, apakah itu bendera negara lain atau organisasi penentang pemerintah,” tambah Tran.
Kedua acara tersebut berlangsung hanya satu minggu setelah Menteri Kehakiman Ha Cung Cuong menyatakan di laman pemerintah bahwa sudah waktunya ada undang-undang yang mengakui pernikahan sesama jenis.
Kementerian Kehakiman sedang membuat proposal untuk merevisi hukum perkawinan, untuk meningkatkan hak-hak pasangan sesama jenis terkait aset dan adopsi.
Majelis Nasional akan membahas rancangan revisi tersebut pada Mei 2013.
Meski legalisasi pernikahan sesama jenis sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat, para aktivis yakin undang-undang yang mengakui hak-hak pasangan sesama jenis akan membantu masyarakat menyadari bahwa homoseksualitas itu sesuatu yang normal dan mendorong lebih banyak orang untuk memperlihatkan jati diri yang sebenarnya.
Lebih dari 100 orang tak memedulikan terik matahari pada Minggu (5/8) untuk bersepeda selama lebih dari dua jam melalui pusat kota Hanoi. Mereka mengibar-ngibarkan bendera pelangi dan spanduk dengan slogan seperti “Saya Cinta LGBT” dan “Berbeda, Bukan Menyimpang.”
Acara tersebut merupakan puncak kegiatan Gay Pride pertama di negara tersebut, yang bertujuan lebih menampilkan komunitas LGBT di mata publik.
Nguyen Thanh Tam, 25, perempuan di balik penyelenggaraan parade sepeda, mengatakan ia gembira dengan hasil acara tersebut, meski pesertanya lebih sedikit dari yang diharapkan.
“Menyenangkan sekali acaranya dan Anda dapat melihatnya di wajah orang-orang saat mereka selesai melakukan parade,” ujarnya. “Saya yakin acara ini, khususnya parade sepeda, akan mengubah LGBT selamanya. Situasi tidak akan sama lagi.”
Tam mengatakan bahwa tampilnya kelompok tersebut di muka publik akan mendorong masyarakat untuk menganggap homoseksualitas sebagai sesuatu yang normal, daripada sesuatu yang menakutkan, seperti penyakit. Adanya liputan media yang membuat acara tersebut menjadi berita utama di kalangan internasional telah membantu mempertegas pesan parade tersebut, ujar Tam.
“Dengan adanya liputan yang masif di media lokal, saya kira kesadaran mengenai komunitas LGBT di Vietnam telah meningkat secara signifikan dan hal ini membuka jalan yang baik bagi pergerakan baru hak-hak LGBT di Vietnam,” tambahnya.
Hanya satu hari sebelumnya, sebuah acara yang jauh lebih besar diadakan di sebuah taman di Ho Chi Minh City tapi dengan pengunjung yang jauh lebih sedikit.
Acara berjudul “Hand-in-Hand” itu menarik lebih dari 1.000 orang yang datang ke taman itu untuk mendukung pernikahan gay. Menggunakan kaos yang senada, kelompok tersebut bernyanyi bersama, dan baik pasangan gay maupun heteroseksual saling bergandengan tangan sambil berciuman di depan umum untuk menunjukkan bahwa mereka ingin mendobrak tabu.
Jacky Tran dari organisasi Support Equal Marriage (Dukung Pernikahan Sejenis) di Vietnam mengatakan bahwa banyak berita mengenai legalisasi pernikahan sesama jenis di banyak negara lain, seperti Amerika Serikat, sehingga ia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membawa diskusi itu ke Vietnam.
Tran mengatakan bahwa banyak orang yang lewat bersorak dan memperlihatkan dukungan mereka selama acara di taman. Namun, tidak semua orang senang melihat mereka.
“Ada sekelompok laki-laki membawa anjing dengan bendera pelangi di punggungnya, dan anjing itu mondar-mandir untuk menunjukkan bahwa kaum LGBT itu seperti anjing,” ujar Tran.
Meskipun tidak ada undang-undang yang melarang homoseksualitas di Vietnam, diskriminasi tumbuh subur.
Kelompok-kelompok LGBT masih sering digambarkan di media sebagai karakter yang aneh. Laki-laki gay sering dipotret sebagai pekerja seks, sebuah stereotip yang ingin dihilangkan oleh para aktivis.
Kasus kekerasan publik terhadap LGBT masih jarang di Vietnam, namun sosiolog Le QuangBinh, direktur Lembaga Penelitian Masyarakat, Ekonomi dan Lingkungan di Hanoi mengatakan bahwa situasi di rumah-rumah dapat berbeda.
“Banyak kisah seperti orangtua yang memukuli anak-anaknya setelah mendapati bahwa mereka gay, misalnya,” ujar Binh. “Dalam penelitian kami, beebrapa orang memberikan tekanan psikologis pada anak-anak mereka. Misalnya saja para orangtua yang membawa anak perempuannya ke danau lalu mengancam akan terjun ke danau jika ia tidak berhenti mencintai perempuan lain.”
Kedua acara di Hanoi dan Ho Chi Minh City menarik kecurigaan dari pihak berwenang. Tran mengatakan bahwa sebagian karena pihak otoritas tidak paham dengan acara-acara bertema hak kaum gay jadi aparat menemuinya untuk bertanya aktivitas seperti apa yang akan dilakukan.
“Setelah itu mereka memberi ijin namun dengan peringatan untuk melakukannya dengan cepat dan tidak memamerkan bendera pelangi yang besar karena mereka tidak tahu apa makna bendera tersebut, apakah itu bendera negara lain atau organisasi penentang pemerintah,” tambah Tran.
Kedua acara tersebut berlangsung hanya satu minggu setelah Menteri Kehakiman Ha Cung Cuong menyatakan di laman pemerintah bahwa sudah waktunya ada undang-undang yang mengakui pernikahan sesama jenis.
Kementerian Kehakiman sedang membuat proposal untuk merevisi hukum perkawinan, untuk meningkatkan hak-hak pasangan sesama jenis terkait aset dan adopsi.
Majelis Nasional akan membahas rancangan revisi tersebut pada Mei 2013.
Meski legalisasi pernikahan sesama jenis sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat, para aktivis yakin undang-undang yang mengakui hak-hak pasangan sesama jenis akan membantu masyarakat menyadari bahwa homoseksualitas itu sesuatu yang normal dan mendorong lebih banyak orang untuk memperlihatkan jati diri yang sebenarnya.