Starbucks akan membuka dua kedainya tahun ini, sementara McDonald's berencana membuka restorannya pada 2014.
HANOI —
McDonald's merupakan merek global terbaru yang mengumumkan akan membuka toko di Vietnam, negara komunis yang semakin menarik perhatian bisnis waralaba Amerika.
Iklim bisnis Vietnam memiliki reputasi sedang, ada di bawah China dan Thailand dalam Indeks Kemudahan Berusaha dari Bank Dunia, namun di atas Indonesia dan India.
Pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah dalam 13 tahun terakhir tahun lalu dan sebuah survei baru-baru ini dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan lebih dari separuh pekerja muda terdampak kualitas pekerjaan yang buruk.
Namun berita ekonomi yang buruk tidak membuat kemilau pasar itu berkurang bagi merek-merek AS. Tahun ini saja, Starbucks membuka dua toko pertamanya dan McDonald's baru-baru ini mengumumkan bahwa perusahaan itu akan membuka sebuah toko awal tahun depan.
“Kita melihat di Vietnam sekarang ada KFC, ada Starbucks, Pizza Hut, Subway, Lotteria dan waralaba makanan siap saji serta merek lainnya. Saya kira ekonomi tumbuh cukup sehat dan politik cukup stabil sehingga itu sebabnya saya pikir ini waktu yang tepat bagi McDonald’s untuk datang ke Vietnam sekarang," ujar general manager Thinh Nguyen.
Semua waralaba ini mulai di metropolis terbesar negara tersebut, Ho Chi Minh City. Kota tersebut merupakan jantung perekonomian Vietnam, dan populasi Ho Chi Minh secara umum lebih makmur. Pada 2010, pendapatan per kapita mencapai US$2.800, sekitar dua kali rata-rata nasional.
Starbucks mengatakan harga minuman latte terjangkau warga Vietnam biasa. Kopi seharga $3 setara dengan yang dijual di kedai-kedai Vietnam seperti Highlands dan Trung Nguyen.
Tidak seperti banyak negara-negara Barat lainnya dimana makanan siap saji merupakan pilihan yang terjangkau meski tak sehat, waralaba asing di Vietnam memiliki reputasi berbeda. Di sini, sebagian besar pelanggannya adalah anak muda dan keluarga kaya.
"Lebih dari 60 persen penduduk Vietnam berusia di bawah 30 tahun dan mereka jatuh cinta pada merek-merek besar seperti McDonald’s, Starbucks, dan merek terkenal lainnya di dunia," ujar Nguyen.
McDonald’s mengumumkan bahwa masuknya mereka ke Vietnam memicu kontroversi karena pemegang lisensi lokal adalah menantu perdana menteri Vietnam. Nepotisme dan kapitalisme kroni telah mendorong kritikan yang luas di kalangan warga Vietnam.
McDonald’s membela pilihannya atas Henry Nguyen dengan mengatakan ia memiliki latar belakang bisnis yang mengesankan dan rekam jejak bisnis baru di negara tersebut.
Meski koneksi-koneksi politiknya jelas merupakan aset, Adam Sitkoff dari Kamar Dagang Amerika mengatakan Nguyen memiliki pengalaman dan pengetahuan pasar yang dicari oleh merek-merek seperti McDonald's. Bahkan sebelum bertemu istrinya, ujar Sitkoff, Nguyen telah memiliki pengalaman dalam industri makanan dan minuman, ikut membangun merek-merek seperti Pizza Hut, Coffee Bean and Tea Leaf, dan Subway di negara tersebut.
Bagi waralaba-waralaba yang menyasar Vietnam, Sitkoff mengingatkan bahwa membangun bisnis di negara itu perlu waktu.
“Vietnam tidak memiliki undang-undang yang kuat dan sistem peradilan yang adil dan memihak. Negara ini tidak mempunyai jenis-jenis tertentu dari perlindungan investor yang ada di negara-negara maju. Hal ini cukup melukai kemampuan banyak bisnis untuk datang dan beroperasi," ujarnya.
Salah satu tantangan terbesar untuk bisnis-bisnis adalah menemukan penyewa yang baik. Sebagian besar tanah adalah milik pemerintah, perusahaan negara atau kementerian. Seringkali pemilik tanah meminta uang tambahan di luar sewa resmi atau menghentikan sewa sehingga mereka dapat meniru model usaha dan membuka toko mereka sendiri.
Starbucks memiliki sebuah strategi yang dilakukannya di banyak negara untuk mengatasi masalah ini, ujar General Manager Starbucks Vietnam Viet Idea Food & Beverages Patricia Marques.
“Kami telah meluangkan banyak waktu untuk mengedukasi pemilik tanah, mengundang mereka mengunjungi lokasi kami di Distrik 1 [Pusat kota Ho Chi Minh City] agar mereka dapat mengamati apa yang dapat kami lakukan di atas properti milik mereka. Untuk jumlah lalu lintas yang dibawa toko-toko kami, saya yakin penyewa ingin mendapatkan kami. Mereka tidak ingin meniru kami, mereka ingin memiliki kami," ujarnya.
Sitkoff mengatakan perlu waktu lama bagi Starbucks untuk datang ke Vietnam karena perusahaan tersebut tidak yakin penduduk lokal mampu membeli produk-produk mereka. Namun, dengan gairah anak muda atas merek terkenal, ia memperkirakan merek lain akan mengikuti mereka.
Marques dari Starbucks sama optimistisnya. Ia mengatakan kompetisi hanya membawa lebih banyak minat pelanggan, sehingga baik untuk bisnis.
Iklim bisnis Vietnam memiliki reputasi sedang, ada di bawah China dan Thailand dalam Indeks Kemudahan Berusaha dari Bank Dunia, namun di atas Indonesia dan India.
Pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah dalam 13 tahun terakhir tahun lalu dan sebuah survei baru-baru ini dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan lebih dari separuh pekerja muda terdampak kualitas pekerjaan yang buruk.
Namun berita ekonomi yang buruk tidak membuat kemilau pasar itu berkurang bagi merek-merek AS. Tahun ini saja, Starbucks membuka dua toko pertamanya dan McDonald's baru-baru ini mengumumkan bahwa perusahaan itu akan membuka sebuah toko awal tahun depan.
“Kita melihat di Vietnam sekarang ada KFC, ada Starbucks, Pizza Hut, Subway, Lotteria dan waralaba makanan siap saji serta merek lainnya. Saya kira ekonomi tumbuh cukup sehat dan politik cukup stabil sehingga itu sebabnya saya pikir ini waktu yang tepat bagi McDonald’s untuk datang ke Vietnam sekarang," ujar general manager Thinh Nguyen.
Semua waralaba ini mulai di metropolis terbesar negara tersebut, Ho Chi Minh City. Kota tersebut merupakan jantung perekonomian Vietnam, dan populasi Ho Chi Minh secara umum lebih makmur. Pada 2010, pendapatan per kapita mencapai US$2.800, sekitar dua kali rata-rata nasional.
Starbucks mengatakan harga minuman latte terjangkau warga Vietnam biasa. Kopi seharga $3 setara dengan yang dijual di kedai-kedai Vietnam seperti Highlands dan Trung Nguyen.
Tidak seperti banyak negara-negara Barat lainnya dimana makanan siap saji merupakan pilihan yang terjangkau meski tak sehat, waralaba asing di Vietnam memiliki reputasi berbeda. Di sini, sebagian besar pelanggannya adalah anak muda dan keluarga kaya.
"Lebih dari 60 persen penduduk Vietnam berusia di bawah 30 tahun dan mereka jatuh cinta pada merek-merek besar seperti McDonald’s, Starbucks, dan merek terkenal lainnya di dunia," ujar Nguyen.
McDonald’s mengumumkan bahwa masuknya mereka ke Vietnam memicu kontroversi karena pemegang lisensi lokal adalah menantu perdana menteri Vietnam. Nepotisme dan kapitalisme kroni telah mendorong kritikan yang luas di kalangan warga Vietnam.
McDonald’s membela pilihannya atas Henry Nguyen dengan mengatakan ia memiliki latar belakang bisnis yang mengesankan dan rekam jejak bisnis baru di negara tersebut.
Meski koneksi-koneksi politiknya jelas merupakan aset, Adam Sitkoff dari Kamar Dagang Amerika mengatakan Nguyen memiliki pengalaman dan pengetahuan pasar yang dicari oleh merek-merek seperti McDonald's. Bahkan sebelum bertemu istrinya, ujar Sitkoff, Nguyen telah memiliki pengalaman dalam industri makanan dan minuman, ikut membangun merek-merek seperti Pizza Hut, Coffee Bean and Tea Leaf, dan Subway di negara tersebut.
Bagi waralaba-waralaba yang menyasar Vietnam, Sitkoff mengingatkan bahwa membangun bisnis di negara itu perlu waktu.
“Vietnam tidak memiliki undang-undang yang kuat dan sistem peradilan yang adil dan memihak. Negara ini tidak mempunyai jenis-jenis tertentu dari perlindungan investor yang ada di negara-negara maju. Hal ini cukup melukai kemampuan banyak bisnis untuk datang dan beroperasi," ujarnya.
Salah satu tantangan terbesar untuk bisnis-bisnis adalah menemukan penyewa yang baik. Sebagian besar tanah adalah milik pemerintah, perusahaan negara atau kementerian. Seringkali pemilik tanah meminta uang tambahan di luar sewa resmi atau menghentikan sewa sehingga mereka dapat meniru model usaha dan membuka toko mereka sendiri.
Starbucks memiliki sebuah strategi yang dilakukannya di banyak negara untuk mengatasi masalah ini, ujar General Manager Starbucks Vietnam Viet Idea Food & Beverages Patricia Marques.
“Kami telah meluangkan banyak waktu untuk mengedukasi pemilik tanah, mengundang mereka mengunjungi lokasi kami di Distrik 1 [Pusat kota Ho Chi Minh City] agar mereka dapat mengamati apa yang dapat kami lakukan di atas properti milik mereka. Untuk jumlah lalu lintas yang dibawa toko-toko kami, saya yakin penyewa ingin mendapatkan kami. Mereka tidak ingin meniru kami, mereka ingin memiliki kami," ujarnya.
Sitkoff mengatakan perlu waktu lama bagi Starbucks untuk datang ke Vietnam karena perusahaan tersebut tidak yakin penduduk lokal mampu membeli produk-produk mereka. Namun, dengan gairah anak muda atas merek terkenal, ia memperkirakan merek lain akan mengikuti mereka.
Marques dari Starbucks sama optimistisnya. Ia mengatakan kompetisi hanya membawa lebih banyak minat pelanggan, sehingga baik untuk bisnis.