Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden pemenang pemilu 2024, dan kini bersiap melakukan transisi pemerintahan dan membentuk kabinet. Komposisi kabinet Prabowo masih terus dibahas bersama tim.
Prabowo disebut-sebut berkeinginan untuk membentuk semacam “klub presiden”. Ini bertujuan menjadi tempat bagi para presiden dan mantan presiden untuk berdiskusi terutama mengenai persoalan negara dan pemerintahan.
Juru Bicara Prabowo, Dahnil Simanjuntak menjelaskan “klub presiden” yang dimaksud ini hanyalah sebuah istilah yang digunakan dan bukan pembentukan institusi baru. Presiden terpilih, kata Dahnil, ingin “bersilaturahim” secara rutin dengan presiden-presiden sebelumnya untuk berdiskusi di antaranya persoalan negara dan pemerintahan.
Ia mengatakan ini dikarenakan sejak awal Prabowo mempunya visi utama yang salah satunya adalah berkelanjutan. Dahnil juga menambahkan keberlanjutan itu bukan sekedar keberlanjutan kepemimpinan dan legacy Jokowi, tetapi juga presiden-presiden sebelumnya, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Abdurahman Wahid dan BJ. Habibie.
“Artinya Pak Prabowo ingin menjaga komunikasi yang selama ini sudah dilakukan oleh Pak Jokowi dengan presiden-presiden sebelumnya tetap terjaga. Ada sharing, ada duduk bersama secara rutin yang kemudian memberikan kemanfaatan secara langsung kepada kebijakan Pak Prabowo ,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Dahnil, hal tersebut juga menjadi simbolisasi keguyuban, persatuan para presiden supaya kemudian memberikan efek yang positif kepada masyarakat, itu semangat utamanya.
Tak Perlu Khawatir dengan “Klub Presiden”
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) lili Romli menilai baik “klub presiden” ini sepanjang dalam rangka untuk mendiskusikan, merumuskan bagaimana membangun Indonesia yang sejahtera dan demokrasi serta menjalin “silaturahmi”. Dan bukan dalam rangka melakukan koptasi dengan menjustifikasi atau melegitimasi pengambilan kebijakan yang merugikan rakyat.
Menurut Lili, “klub presiden” yang merupakan istilah ini tidak boleh diformalkan dan dalam pelaksanaannya tidak boleh menggunakan uang negara.
Your browser doesn’t support HTML5
“Pengambilan keputusan di antara presiden dan mantan presiden kemudian menjadi alat legitimasi mengeluarkan kebijakan, bukan begitu. Karena, bagaimanapun proses pengambilan kebijakan itu harus ada persetujuan melalui DPR bukan di president club itu, bukan. Bahwa itu sebagai alat tukar pikiran ya nggak apa-apa,” ujar Lili kepada VOA, Minggu (5/5).
Lili mengatakan dengan adanya diskusi dan komunikasi yang intens atau berkala antara presiden dan mantan-mantan presiden itu kemungkinan dapat mencairkan ketegangan yang terjadi antara mantan-mantan presiden seperti Megawati Soekarno Putri dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan juga Megawati dengan Jokowi.
BACA JUGA: Prabowo Dekati Mayoritas di DPR Setelah Partai Saingannya Janjikan DukunganNamun demikian pengamat hukum tata negara di Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah berpendapat berbeda. Menurutnya, isu “klub presiden” adalah upaya untuk merangkul lawan-lawan politik Prabowo, dalam hal ini Megawati Soekarno Putri.
Menurutnya “klub presiden” yang ada di Amerika Serikat (AS) akan berbeda dengan di Indonesia. Pasalnya, di Indonesia, mantan-mantan presiden juga sekaligus menguasai partai politik.
”Jadi tidak pure membicarakan kenegarawanan sebenarnya, tetapi juga upaya untuk merangkul lawan-lawan politik karena mantan-mantan presiden Megawati, SBY misalnya adalah mereka-mereka juga memegang jabatan di partai politik. Ini semacam upaya penundukan partai-partai politik agar merapat di koalisi pemerintahan,” ungkapnya.
PDI-Perjuangan Menunggu Pinangan?
Salah satu yang belum “dirangkul” untuk masuk ke koalisi pemerintahan, kata Herdiansyah, adalah PDI-P.
“Nah salah satu cara untuk merangkul PDI-P adalah merangkul kepalanya dalam hal ini Megawati karena itulah alasan utama president club itu untuk diwacanakan adalah untuk merangkul Megawati yang berarti itu satu paket untuk merangkul PDIP. Jadi saya tidak melihat sebagaimana diwacanakan sebagai tempat untuk berkumpulnya mantan-mantan presiden, untuk membicarakan negara, masa depan, itu nggak,” tegas Herdiansyah.
Jika semua partai politik bergabung dalam koalisi pemerintahan tambahnya hal ini akan melumpuhkan proses demokrasi karena akan menghilangkan oposisi. Padahal publik, lanjutnya, mengharapkan ada kekuatan oposisi yang dapat mengimbangi sekaligus mengawasi presiden. [fw/em]