Dalam rapat kabinet terbatas Jumat pekan lalu mengenai percepatan penyelesaian masalah pertanahan, Presiden Joko Widodo memberikan arahan tegas kepada para menterinya untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada rakyat dalam konflik agraria yang terjadi.
Presiden Joko Widodo bahkan meminta untuk mencabut semua konsesi perusahaan swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kalau pemegang hak konsesi mempersulit upaya percepatan pemulihan hak rakyat dalam konflik agraria yang terjadi.
Menanggapi hal tersebut, dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Senin (6/5), Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Boy Sembiring mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo itu bukan hal baru. Hal ini telah disampaikan dalam janji politik Nawa Cita I hingga penerbitan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2017 tentang Rencana Kerja Pemerintah 2018 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Walhi mencatat hingga tahun lalu terdapat 555 konflik agraria dan sumber daya alam yang dilaporkan kepada Kantor Staf Presiden dengan luas lahan menjadi sumber konflik lahan seluas 627.430,042 hektar dan melibatkan 106.803 kepala keluarga.
Meski terdapat tim percepatan penyelesaikan konflik agraria di KSP, namun menurut Boy, tidak ada perkembangan signifikan dalam penyelesaian perkara-perkara tersebut.
Your browser doesn’t support HTML5
"Pernyataan ini memang penting untuk ditindaklanjutitapi jangan sekadar wacana. Makanya kita dorong agar pemerintah, agar Presiden Jokowi memimpin langsung terkait dengan impelmentasi reforma agraria. Kedua, menyelesaikan konflik-konflik. Karena salah satu kunci reforma agraria itu pemulihan hak rakyat yang terlanjur dirampas melalui investasi," kata Boy.
Dari 555 konflik agraria itu, sektor perkebunan mencatat paling banyak kasus, yakni -306 kasus- dengan luas sengketa 341.237,87 hektar- dan melibatkan 52.623 kepala keluarga, disusul sektor kehutanan (163 kasus) dengan luas lahan konflik 246.746,73 hektar- dan melibatkan 36.567 kepala keluarga, dan kemudian sektor bangunan (33 kasus) dengan luas lahan yketa 2.259,936 hektar dan melibatkan 10.456 kepala keluarga.
Lebih lanjut Boy mengungkapkan berdasarkan sebaran daerah dampingan Walhi di 20 provinsi, tercatat 487.595,42 hektar- lahan yang menjadi konflik dan melibatkan 58.094 jiwa.
Rinciannya, lanjut Boy, di sektor kehutanan masyarakat di tujuh provinsi (Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Timur) tidak bisa memperoleh akses legal melalui Perhutanan Sosial dan atau terancam terusir dari kampungnya dengan luas lahan yang menjadi sengketa 192.945,17 hektar. Di Jawa Barat dan Jawa Timur, konflik warga dengan Perhutani melibatkan lahan seluas 5.122,5 hektar.
Di sektor wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, konflik terjadi di empat provinsi (Jakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan) dengan luas lahan menjadi sengketa 1.237 hektar.
Di sektor perkebunan, konflik agraria terjadi di sepuluh provinsi (Aceh, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara) dengan luas lahan menjadi sengketa 171.823,47 hektar.
Di sektor pertambangan, konflik agraria terjadi di lima provinsi (Aceh, bengkulu, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi tengah) dengan luas lahan menjadi sengketa 51.491,78 hektar. Masyarakat di kelima provinsi ini tidak hanya terancam terusir, namun juga terancam pencemaran.
Di sektor infrastruktur energi, terjadi konflik agraria di lima provinsi (Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Barat) dengan luas lahan menjadi sengketa 3.106 hektar.
Pada kesempatan itu, Kepala Departemen Politik Walhi Khalisah Khalid menyebutkan pihaknya meminta pemerintah membentuk lembaga khusus menangani kasus konflik reforma agraria. Lembaga tersebut harus setingkat kementerian dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
"(Pembentukan badan penyelesaian konflik agraria) ini memang diusulkan oleh organisasi masyarakat sipil sejak masa transisi demokrasi pasca reformasi hingga saat ini. Itulah salah satu badan yang tidak pernah mau dibentuk oleh presiden, dari rezim pemerintah (satu) ke rezim pemerintahan (lain)," ujar Khalisah.
Selain meminta pembentukan lembaga khusus, Walhi juga berharap pemerintah selanjutnya menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin secara keseluruhan kepada perusahaan - perusahaan yang tidak menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam di areal konsesinya.
Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan menegaskan Presiden Joko Widodo memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.
Sejumlah kebijakan tambah Abetnego telah dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah ini seperti Perpers no. 88 tahun 2018 tentang penyelesaian tanah dalam kawasan hutan, Perpres tentang reforma agraria yang memberikan arahan pelaksanaan terkait dengan reforma agraria dan juga inpers moratorium sawit yang dikeluarkan tahun 2019.
Dia mengakui masih banyak konflik agraria yang harus diselesaikan. Saat ini kata Abetnego pihaknya sedang mendorong proses sinergi dan konsolidasi lintas kementerian.
“Yang kita ubah hari ini adalah bagaimana cara berfikir melihat izin-izin yang diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan yang diberikan bagaimana cara berfikir pemerintah selama ini terkait dengan konflik karena di pemerintah juga cukup kuat cara pandang bahwa jika izin sudah dikeluarkan ga baik di revisi, kalau ada yang keberatan bawa aja ke pengadilan.
Padahal kita tahu masa lalu terkait pemberian izin atau pemberian hak itu banyak juga aspek-aspek yang berkaitan dengan clear dan clean situasi di lapangan. Banyak kita tahu diberikan izin kepada hutan tanaman industri padahal ada masyarakat didalamnya, begitu juga HGU” ujar Abetnego.
Terkait usulan pembentukan badan baru untuk menyelesaikan konflik agraria, Abetnego memahami alasan dasar muculnya usulan pembentukan badan baru ini tetapi detailnya harus dipkirkan seperti kasus seperti apa yang akan ditangani oleh badan ini, strukturnya, sumber daya manusia dan sebagainya. [fw/ab]