Warga Desa Lakardowo, Mojokerto dan LSM lingkungan hidup Ecoton, mendesak pemerintah melakukan pembuktian mengenai tidak adanya pencemaran yang dilakukan pabrik pengolahan limbah B3 yakni PT. Putra Restu Ibu Abadi (PRIA), yang diduga meyebabkan beberapa masalah kesehatan dan lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan keputusan atas dugaan pencemaran limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) oleh PT. Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) di Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto.
Keputusan ini berdasarkan hasil analisis sampel air tanah yang disimpulkan tidak ada pencemaran yang dilakukan oleh PT. PRIA, seperti yang dikeluhkan oleh sebagian warga Desa Lakardowo.
Menurut Manajer Development PT. PRIA, Christine, kesimpulan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu seharusnya sudah menegaskan bahwa pabrik pengolahan limbah B3 ini tidak melakukan pencemaran seperti yang dituduhkan.
“Kalau arahnya pencemaran, harusnya dengan bukti ini sudah cukup memuaskan, tapi kenapa dari bukti ke bukti, dari proses ke proses mereka tidak pernah puas, nah itu yang menjadi kecurigaan,” ujar Christine.
Manajer Riset ECOTON (Ecological Obsevation and Wetlands Conservation), Daru Setyorini mengatakan, kesimpulan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai mengingkari fakta dan data hasil laboratorium yang sama-sama dilakukan KLHK dan Ecoton di dua laboratorium milik lembaga pemerintah.
Kesimpulan itu kata Daru, tidak menyebutkan bahwa memang ada parameter pencemaran pada air sumur pantau dan air permukaan di sekitar pabrik pengolahan limbah, sesuai data dua laboratorium yang hampir sama hasilnya.
“Kesimpulan ini benar-benar mengingkari data yang kita dapatkan dari laboratorium, baik dari data KLHK sendiri maupun data dari Ecoton. Karena data hasil laboratorium menunjukkan di dalam sumur pantau dan air permukaan sekitar PT PRIA, ada parameter yang melebihi baku mutu, antara lain besi, mangan, sulfat, H2S, bahkan ecoli, juga da minyak dan lemak. Parameter ini kenapa kok tidak disebutkan melebihi baku mutu di dalam sumur pantau dan air permukaan? Kenapa disebutkan sama sekali tidak ada parameter? Nah ini kan mengingkari,” ungkap Daru.
Keraguan atas putusan KLHK ini lanjut Daru, juga didasari oleh pakar yang ditunjuk untuk menyimpulkan, yang mempunyai riwayat kasus pada persoalan lingkungan di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, serta bidang keahlian yang tidak sesuai permasalahan.
Ecoton mendesak adanya uji bor tanah di lahan tempat berdirinya pabrik pengolahan limbah B3, untuk memastikan bahwa PT. PRIA melakukan, atau tidak melakukan penimbunan limbah B3, yang diduga menjadi penyebab pencemaran air sumur warga.
Daru menambahkan, “Cukup kita ambil sampel bor tanah saja, jadi di bor pada kedalaman, gak usah dalam-dalam karena menurut kesaksian warga, di kedalaman lima meter kita sudah bisa menemukan. Jadi kemungkinan ngebornya bisa lima sampai 10 meter, kita lihat lapisan tanahnya apakah dia sama dengan lapisan tanah alami di sekitar, atau memang ada bahan-bahan kimia lain yang bukan berasal dari kondisi geologi alami di lahan tersebut. Nah ini bisa menunjukkan bahwa disitu dilakukan penimbunan limbah B3 atau tidak.”
Sementara itu, Heru Siswoyo, warga Desa Lakardowo yang juga mantan karyawan PT. PRIA menyatakan siap menunjukkan lokasi tempat penimbunan limbah B3 di dalam kawasan pabrik. Heru menantang perusahaan mau melakukan uji bor tanah untuk memastikan apakah ada timbunan limbah B3 atau tidak.
“Tahun 2010 PT PRIA kan belum mempunyai alat, belum mempunyai alatnya sama sekali, juga belum punya ijinnya tapi sudah mulai pelanggaran dia. Jadi semua itu masuk kesitu, semua jenis limbah, dari slag, bottom ash, medis, barang-barang expired, tanpa alas, bawah itu langsung tanah. Cuma kalau mau ngecek isinya sih gampang sekali, kita bor saja, pinggir tanggul, lantainya bisa,” tutur Heru.
Persoalan pencemaran lingkungan yang diduga terjadi akibat adanya pabrik pengolahan limbah B3 di Desa Lakardowo, telah membuat suasana tenteram desa itu terusik karena munculnya kelompok yang pro dan kontra. Sementara itu beberapa warga telah didapati menderita gatal-gatal pada kulit, setelah menggunakan air dari sumur yang berada tidak jauh dari pabrik. Daru Setyorini berharap pemerintah segera menuntaskan persoalan ini, serta melakukan pemulihan kondisi lingkungan agar kehidupan masyarakat di Desa Lakardowo kembali normal. [pr/lt]
Your browser doesn’t support HTML5