Wisuda UGM Diwarnai Aksi Solidaritas Pro-Agni

  • Rio Tuasikal

Kelompok solidaritas Agni berunjuk rasa di sekitar lokasi wisuda UGM, meminta kampus mengeluarkan HS, pelaku pelecehan seksual terhadap Agni. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

Kasus pelecehan seksual di Universitas Gadjah Mada memasuki babak baru setelah pelaku pelecehan batal wisuda dan wajib mengikuti konseling. Namun langkah itu dianggap belum cukup untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban.

Prosesi wisuda atas 1.507 mahasiswa UGM, Rabu (20/2/2019) pagi, diwarnai unjuk rasa dari kelompok solidaritas pro-Agni. Beraksi tepat di samping aula lokasi wisuda, mereka membentangkan spanduk meminta kampus biru mengeluarkan pelaku pelecehan, HS.

Peserta aksi, Rizaldi Ageng Wicaksono, bersikukuh efek jera terhadap HS hanya bisa dicapai lewat sanksi drop out.

“Dengan DO, itu pelajaran buat masyarakat juga. Orang bakal mikir ketika dia mau melakukan kekerasan seksual, dia mikir pasti dapat hukuman yang berat,” ujarnya kepada VOA di lokasi.

Your browser doesn’t support HTML5

Wisuda UGM Diwarnai Aksi Solidaritas Pro-Agni

Tuntutan supaya HS drop out sempat diajukan oleh Agni namun ditolak oleh pihak kampus. Menurut peserta aksi, seharusnya UGM memenuhi permintaan tersebut.

“Ketika pihak kampus mengeluarkan pelaku kekerasan seksual, berarti dia menunjukkan komitmennya untuk menghapuskan kekerasan seksual di kampus,” tambahnya yang juga bagian dari International Women’s Day Yogyakarta.

Apakah Pelaku Pelecehan Seksual Agni Jadi Wisuda?

HS sempat masuk daftar calon wisudawan pada November 2018. Namun namanya dicoret sampai kasus pelecehan ini selesai.

Dalam kesepakatan terbaru pada 4 Februari yang difasilitasi rektorat UGM, pelaku hanya boleh wisuda jika sudah mengikuti konseling wajib. Konseling itu bertujuan mengubah perilaku HS dan harus dilakukan seorang psikolog klinis.

Sebanyak 1.507 mahasiswa UGM diwisuda pada Rabu (20/2/2019) pagi, tidak ada yang tahu apakah HS betul-betul batal diwisuda. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

Dalam upacara wisuda kali ini, tidak ada yang tahu pasti apakah HS, yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknik, benar-benar batal wisuda. Kelompok solidaritas Agni hanya dapat memastikannya dari penelusuran di situs wisuda UGM.

Salah satu mahasiswa yang mendukung Agni, Cornelia Natasya, mendesak rektorat memberikan bukti.

Mahasiswi yang mendukung Agni, Cornelia Natasya, mengatakan rektorat terkesan tertutup terkait perkembangan konseling HS. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

​“Apa buktinya? Apakah hanya dengan bilang HS belum diwisuda, HS ditunda wisudanya? Tapi buktinya apa? Tidak ada bukti yang konkret sampai hari ini. Ya apa buktinya dia belum lulus? Bisa saja kan dia diwisuda tapi namanya tidak dibaca,” ujarnya yang juga diwisuda dalam kesempatan yang sama.

Selain soal penundaan wisuda, masalah konseling juga belum jelas. Natasya menjelaskan, pihak rektorat terkesan tertutup. Universitas belum menjelaskan perkembangan konseling ataupun indikator yang digunakan.

“Untuk meng-update apa saja kemajuannya, apa yang sudah dilakukan, apa yang belum selesai, apa yang akan diproses. Tapi sampai hari ini belum ada,” pungkas wisudawan hubungan internasional ini.

Bukan Kesepakatan Damai Tapi Penerimaan Permintaan Maaf

Selain penundaan wisuda dan kewajiban konseling, beberapa poin juga masuk dalam kesepakatan 4 Februari. Antara lain jaminan terhadap hak-hak Agni sebagai penyintas dan perbaikan mekanisme penanganan kekerasan seksual di UGM.

Agni juga akan menempuh konseling untuk pemulihan psikisnya. Sementara rektorat berkomitmen menanggung seluruh biaya pendidikan Agni selama menyelesaikan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).

Kesepakatan itu dinamai “kesepakatan damai” oleh rektorat UGM yang kini menganggap kasusnya telah selesai. Namun Rifka Annisa, lembaga yang mendampingi Agni secara hukum, menolak istilah itu. Kesepakatan itu adalah bentuk permintaan maaf dari HS yang diterima oleh Agni. “Permintaan maaf telah dinyatakan HS kepada Agni dengan disaksikan oleh Rektorat UGM,” tulis pernyataan itu.

Tim kuasa hukum meminta dukungan semua pihak untuk mengawal poin-poin kesepakatan dilaksanakan dengan baik.

Di jalur hukum, kasus ini masih diproses oleh Polda DIY. Namun, usai kesepakatan 4 Februari, Polda DIY terkesan akan menghentikan kasus itu. [rt/em]