Ratusan orang berkumpul di Tugu Yogya, mereka menyalakan lilin, mengheningkan cipta dan menyatakan sikap menolak aksi teror bom yang terjadi di Surabaya, Minggu (13/5). Lagu sedih Gugur Bunga dan alunan biola terdengar menyayat hati.
Peserta aksi yang digelar pada Minggu malam ini datang dari perwakilan 60 organisasi masyarakat di Yogyakarta. Berpakaian serba hitam, mereka mengelilingi Tugu Yogya, yang merupakan penanda kota paling terkenal.
Meski simpati mendalam diberikan untuk seluruh korban, enam tuntutan peserta aksi ditujukan untuk polisi, pemerintah dan masyarakat secara umum. Secara tegas, mereka menuntut pemerintah memperkuat perlindungan hak konstitusional warga masyarakat dalam segala bentuknya.
Baca: Jokowi Beri Waktu DPR Selesaikan UU Pemberantasan Teroris Hingga Juni
Mukhibullah, juru bicara aksi ini membacakan tuntutan kepada pemerintah yang diminta untuk mewaspadai gerakan pelemahan demokrasi di Indonesia. Sedangkan kepada masyarakat, peserta aksi menyerukan untuk tetap tenang dan waspada atas aksi teror dan kekerasan. Masyarakat juga diminta tidak terpancing melakukan tindakan balasan dengan memanfaatkan sentimen warga bangsa.
“Memperjuangkan kedaulatan hukum dan kesamaan hak warga negara adalah mutlak untuk mewujudkan bangsa yang besar, adil dan makmur. Sudah selayaknya setiap elemen bangsa dan negara berkontribusi dan menjaganya dari hal-hal yang mengoyak bangunan kebangsaan kita,” kata Mukhibullah menegaskan.
Peserta aksi juga berharap Kepolisian RI diharapkan segera menemukan dan menindak tegas otak aksi teror. Selain itu, perlu juga untuk memperkuat kehidupan bermasyarakat agar rukun dan saling menjaga sehingga ideologi kebencian dan terorisme tidak mendapatkan tempat.
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Minggu siang, juga mengeluarkan sembilan butir sikap menyikapi teror bom di Surabaya. Rektor UGM, Panut Mulyono, dan sejumlah staf berkumpul mendadak untuk menyusun pernyataan sikap itu.
UGM menyatakan keprihatinan yang mendalam atas jatuhnya korban aksi terorisme dan belasungkawa kepada keluarga korban. Kampus ini juga mengecam segala bentuk aksi terorisme oleh pihak mana pun yang berusaha merusak NKRI dan menghancurkan peradaban. Mereka juga mendukung aparat keamanan segera menangkap dan mengadili para pelaku yang bertanggung jawab atas peristiwa ini.
Selanjutnya, kata Panut Mulyono, UGM mendukung pemerintah secara terstruktur melakukan tindakan deradikalisasi dan mencegah munculnya radikalisme. Mendorong pemerintah mengembangkan sistem pendidikan di setiap jenjang yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, keberagaman dan komitmen sebagai bangsa Indonesia.
UGM juga mendukung segala usaha penegakan empat konsensus dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, serta mengajak segenap komponen bangsa untuk bersatu padu melawan aksi terorisme, radikalisme dan intoleransi.
“Kami berkomitmen mengembangkan kegiatan-kegiatan akademik maupun non-akademik yang memperkuat nilai -nilai pluralisme dan kebangsaan. UGM juga melarang segala bentuk kegiatan di lingkungan kampus yang memberi peluang tumbuhnya paham dan gerakan radikal serta hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi,” kata Panut Mulyono menegaskan.
Baca: Mapolrestabes Surabaya Diserang
Keprihatinan, simpati dan dukungan serupa juga diberikan berbagai elemen masyarakat di Yogyakarta. Organisasi profesi, partai politik, dan tokoh masyarakat mengeluarkan pernyataan dalam berbagai kesempatan terpisah.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, dalam pernyataannya di Yogyakarta mempertanyakan pelaku terror yang terus ada. Di tengah upaya maksimal pemerintah melalui berbagai institusi untuk memberantas radikalisme, kenyataan ini melahirkan tanda tanya dan tantangan ke depan.
“Aksi teror ini sudah berulang-ulang dan kita berharap dengan eksekusi para pelaku terorisme semakin reda. Ternyata mati satu tumbuh seribu. Kita harus cari akarnya. Apa yang menjadi akar pokok masalahnya,” kata Ahmad Syafii Maarif.
“Saya kira, yang pertama memang ada pengaruh dari apa yang terjadi di kawasan Arab. Di Suriah dan Irak ada ISIS, di Afrika ada Boko Haram yang memiliki mazhab kekerasan atau yang saya sebut sebagai teologi maut. Itu sudah menyebar secara masif di seluruh dunia,” kata Maarif.
Pria yang akrab disapa Buya Syafii ini khawatir dengan tidak pernah habisnya pelaku terror, mengindikasikan aksi yang ada sebagai puncak gunung es. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim yang relatif aman. Cukup mengkhawatirkan, jika terror terus muncul dan kondisi damai itu berubah layaknya negara-negara konflik seperti Irak, Suriah, Mesir, Libya ataupun Afghanistan.
Lebih memprihatinkan lagi apabila pelaku melakukan aksi dengan membawa agama dan nama Tuhan. Kata Buya Syafii, tidak ada agama yang mengajarkan kekejaman. Semua tindakan itu berawal dari penafsiran pemahaman yang keliru.
“Mereka ini kelompok yang berani mati, tetapi tidak berani hidup. Kelompok putus asa. Di Indonesia kejadian ini tidak sepatutnya terjadi. Saya yakin ini karena pengaruh konflik dari Timur Tengah, seperti yang ada di Suriah. Tetapi kalau itu yang terjadi, itu kebodohan kita. Disana sudah rusak, kenapa kita ikut rusak. Kita membeli peradaban yang jatuh,” kata Buya Syafii menambahkan.
Buya Syafii meminta pemerintah lebih tegas bertindak dalam koridor hukum. Kontrol media sosial perlu dilakukan untuk menekan konflik. Perguruan tinggi juga diharapkan bersikap lebih tegas terkait gerakan radikal. Buya juga berharap warga negara yang masih waras untuk tidak diam. Selama ini, kata Buya, yang tidak waras sebenarnya sangat sedikit, tetapi karena yang waras cenderung diam, maka kelompok yang tidak waras inilah yang mendominasi.
Your browser doesn’t support HTML5