Yogyakarta Benahi Toleransi Berbekal Instruksi

  • Nurhadi Sucahyo

Stasiun Tugu, salah satu tengara utama di Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

Setara Institute menempatkan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di posisi ke-6 sebagai daerah dengan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan tertinggi di Indonesia. Banyak upaya dilakukan daerah ini untuk berbenah, tetapi nampaknya belum maksimal.

Warga ditolak tinggal di satu kampung karena berbeda keyakinan. Sedekah laut digagalkan aksi kekerasan. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebuah gereja dibatalkan Pemda. Upacara keagamaan tidak berjalan sesuai rencana karena dihentikan sejumlah tetangga. Beberapa peristiwa itu terjadi di Yogyakarta dalam setahun terakhir. Peristiwa itu pula yang dicatat Setara Institute, dan menempatkan Yogyakarta di peringkat ke-6 tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Ada 37 peristiwa dalam lima tahun terakhir, menurut Setara dalam laporan yang dipublikasikan 24 November 2019 lalu.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X. (Foto: Humas Pemda DIY3)

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak mau berkomentar banyak mengenai penilaian Setara itu.

“Ya mungkin saja (memang begitu), saya tidak tahu persis dasarnya apa. Saya tidak tahu. Kita hanya bisa mencoba untuk menurunkan beban intoleransi itu. Sekarang sebetulnya perkembangan sudah terjadi, hanya sekarang modelnya alasannya kearifan lokal. Ganti motif, ganti isu,” ujar Sultan, Senin (25/11) di Yogyakarta.

Banyak pihak mengakui, sebagai pemimpin budaya, Sri Sultan Hamengkubuwono X berperan sangat besar. Namun pada sisi kebebasan beragama dan berkeyakinan, kata mereka, perannya nampak harus ditingkatkan.

Anggota Parampara Praja DIY, Amin Abdullah menyebut, Sultan sudah bertindak, antara lain dengan mengeluarkan instruksi gubernur.

Anggota Parampara Praja DIY, Amin Abdullah. (Foto: VOA/ Nurhadi)

“Setara sudah mengapreasiasi, bahwa surat edaran gubernur itu punya pengaruh, meskipun sedikit. Tetapi ada pengaruh, dan gubernur yang lain belum berani mengeluarkan semacam itu. Saya kira, dia sebagai pimpinan kultural, saya kira, cukup memberi jaminan kepada kedamaian. Sebagai tokoh kultural,” kata Amin.

Parampara Praja, adalah lembaga khas terkait keistimewaan DIY, yang bertugas sebagai dewan penasehat gubernur. Sesuai undang-undang, Sultan Keraton Yogyakarta merupakan Raja sekaligus Gubernur secara otomatis.

Amin Abdullah, tokoh agama yang juga aktivis dialog antariman, menyebut faktor budaya memiliki pengaruh besar di Yogyakarta. Termasuk di dalam setiap peristiwa intoleran yang terjadi. Pimpinan daerah cenderung permisif dan easy going dengan peristiwa semacam itu, karena yakin semua akan berlalu begitu saja. Masyarakat cenderung memaafkan dan akan lupa.

“Sekarang, dengan era media sosial begini, kan tidak bisa lagi bersikap seperti itu. Harus mengatakan tidak dengan tegas, tidak permisif. Perubahan-perubahan semacam itu yang kadang-kadang tidak kita sadari, bahwa kita harus lebih tegas mengatakan tidak terhadap hal-hal intoleran itu,” tambah Amin.

Instruksi Gubernur DIY

Bulan April 2019 lalu, Gubernur DIY memang mengeluarkan instruksi terkait penanganan tindak intoleran di masyarakat. Instruksi itu keluar setelah berulangnya berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam berbagai bentuk.

BACA JUGA: Penolakan Piodalan di Bantul: Kelindan Sejarah, Agama dan Toleransi


Dalam instruksinya, Sultan menetapkan delapan butir perintah. Beberapa yang penting adalah, aparat daerah melakukan pembinaan dan pengawasan dalam mewujudkan kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan keyakinannya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan dan bertempat tinggal. Upaya pencegahan praktik diskriminasi dan menjunjung tinggi sikap saling menghormati serta menjaga kerukunan hidup beragama dan aliran kepercayaan juga harus dilakukan.

Instruksi Belum Cukup

Meski Gubernur DIY sudah mengeluarkan sebuah instruksi yang jelas dalam penanganan tindak intoleran, langkah itu dinilai belum cukup. Tokoh dialog antariman dari DIAN-Interfidei, Elga Sarapung menilai ketegasan juga dibutuhkan untuk menindak.

Warga yang mendukung pembatalan IMB GPdI Immanuel oleh Bupati Bantul datang ke PTUN DIY dalam sidang perkara itu, Kamis, 21 Oktober 2019. (Foto: VOA/ Nurhadi)

“Waktu audiensi dengan Parampara Praja, kami apresiasi instruksi gubernur itu. Tetapi bagi kami tidak cukup hanya berupa sekian poin instruksi. Karena itu, kami mengusulkan supaya ada turunannya yang lebih praktis. Lebih jelas, lebih konkrit, sehingga bisa membantu gubernur ketika mengambil tindakan,” ujar Elga di sela pertemuan aktivis antariman Indonesia di Yogyakarta pekan lalu.

Faktor politik dalam penanganan kasus intoleran, kata Elga, berperan besar karena faktor kepala daerah dan partai-partai pendukungnya. Dalam kasus IMB Gereja Immanuel, Sedayu di Bantul misalnya, sejumlah aktivis gerakan masyarakat sipil juga melakukan dialog dengan Gerindra, sebagai pendukung utama Bupati Bantul dalam pilkada.

Unsur politik sangat kental dalam kasus ini karena Kabupaten Bantul akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah tahun depan. Bupati tentu saja akan mengambil langkah yang populer bagi pemilih mayoritas, meskipun itu tidak bisa diterima kelompok minoritas.

“Dalam kaitan kasus seperti ini, partai politik pun benar-benar harus diberi ketegasan. Karena kalau Bupati akan didukung lagi, untuk mencalonkan diri menjadi bupati tahun depan, itu berarti partai politiknya melegalkan apa yang dilakukan oleh bupati yang menarik IMB,” papar Elga.

Politisi: Ada Tetapi Tidak Besar

Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana menilai, sebenarnya masyarakat DIY sudah terlatih dalam isu terkait toleransi. Tanpa mengecilkan apa yang terjadi, Huda justru mempertanyakan seberapa besar kejadian yang muncul dalam beberapa tahun terakhir.

“Saya bukan apa-apa. Di DIY ini, hal-hal yang terkait intoleransi segala macam itu kan, maaf ya, kalau saya katakan hanya sedikit, kecil. Ada, oke memang ada, tetapi tidak banyak. Jadi, jangan dibesar-besarkan lah. Kalau memang kita lihat seperti itu, ya kita diskusi, komunikasi bersama-sama. Di kampung-kampung orang hidup berdampingan semua kok,” sanggah Huda di Yogyakarta, Selasa (26/11).

Your browser doesn’t support HTML5

Yogyakarta Benahi Toleransi Berbekal Instruksi

Huda meminta semua pihak melihat masalah secara proporsional. Di DIY, menurutnya toleransi sudah berjalan dengan baik sejak zaman nenek moyang. Yogyakarta bahkan turut mendirikan Indonesia, dengan seluruh warganya dari berbagai macam agama dan golongan. Jika terjadi masalah, menurut Huda, yang harus diperbaiki adalah komunikasi bersama. Tidak hanya di tingkat aparat pemerintah, tetapi hingga ke tingkat paling bawah. Huda menyebut, penguatan fungsi Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) merupakan salah satu yang bisa dilakukan.

“Saya menghargai itu semua (data Setara), tapi poin saya, jangan dibesar-besarkan,” ujarnya. [ns/ab]