Diskusi yang digelar pada Rabu (24/6) siang itu berjalan selama dua jam di platform Zoom, sekaligus disiarkan lewat YouTube. Namun, siaran di YouTube berhenti pada menit 48:19.
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), selaku penyelenggara, diberitahu YouTube bahwa videonya dianggap melanggar Community Guidelines. Staf Program SEJUK, Maulidya, mengatakan bahwa berdasarkan pemberitahuan YouTube, ada yang melaporkan video itu.
BACA JUGA: Komunitas LGBT Berjuang Lawan Stigma di Media Massa"Ternyata memang ada yang report. Karena ada notifikasi flagged. Tandanya postingan itu di-report bukan di-take down sama YouTube-nya,” jelasnya kepada VOA.
Acara bertajuk “Meneroka Agama yang Tidak Homofobia” itu menghadirkan para pemuka agama dan akademisi. Mereka adalah Kyai Imam Nakha'i, Komisioner Komnas Perempuan, Stephen Suleeman, pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI), dan Dr. Saras Dewi, pengajar filsafat Universitas Indonesia. Bersama Sofa Lajhuba dari Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos), para pembicara mendiskusikan tafsir-tafsir agama yang ramah kepada minoritas seksual.
Lidya mengatakan, isu keberagaman gender memang masih tabu bagi sebagian orang. Namun dia berharap masyarakat mau terbuka untuk mendiskusikan hal-hal sensitif.
"Kalau ini tabu, kita harus buka yang mana? Sementara kan keberagaman harus disampaikan, mau bungkusnya tabu mau nggak,” tambahnya.
SEJUK telah mengunggah video utuh acara tersebut ke laman YouTube, Kamis (25/6).
Pro Kontra Harus Didiskusikan
Direktur SEJUK, Ahmad Junaidi, mengatakan ada pihak-pihak yang tidak suka dengan diskusi yang membahas hak asasi manusia.
“Memang ada pihak-pihak yang tidak suka kalau orang-orang bicarakan isu-isu kebebasan, yang sensitif. (Mereka adalah) yang menghalangi soal kebebasan berekspresi lah," ujarnya ketika dihubungi.
Your browser doesn’t support HTML5
Padahal menurutnya, isu-isu yang sensitif seperti LGBT dan agama harus didiskusikan secara terbuka. Jika tidak, akan timbul kesalahpahaman yang mendorong kekerasan terhadap kelompok minoritas.
“Terbuka aja. Ada yang pro ada yang kontra, nggak apa-apa yang penting dibicarakan. Tapi kalau dibicarakan saja nggak bisa. Itu nanti akan menambah kesalahpahaman,” terangnya.
BACA JUGA: Dituduh Mencuri, Seorang Waria Dibakar Hidup-hidup dan TewasDi sisi lain ujarnya, ada video-video yang menyerukan kekerasan kepada kelompok minoritas, namun masih melenggang bebas di YouTube. Padahal itu adalah ujaran kebencian yang bisa ditindak secara hukum.
“Itu kan dibiarkan saja. Karena mungkin tidak ada yang melaporkan ya. Tidak ada dari kelompok toleran yang melaporkan ini," tambahnya.
7 Organisasi Tuntut Transparansi YouTube
Aksi YouTube pun dikecam oleh tujuh organisasi yang mendukung kebebasan berekspresi. Mereka menuntut YouTube membeberkan alasan penghentian siaran langsung diskusi SEJUK.
Irine Wardhanie dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) mengatakan, YouTube harus lebih arif dalam melakukan evaluasi konten.
"Jadi tidak sekadar berdasarkan report. Tapi dia lihat lah si kontennya dulu, apakah benar-benar melanggar? Karena kalau mau dilihat, kemarin tidak ada hate speech, tidak ada ajakan untuk melakukan kekerasan, ujaran kebencian, tidak memojokkan kelompok atau ras tertentu,” tandasnya.
BACA JUGA: Catatan HAM Indonesia Merosot selama Tahun 2019Irine menegaskan, YouTube harus turut memelihara prinsip-prinsip demokrasi. Sebab ruang diskusi dan hak untuk berpendapat telah dijamin UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Sementara kepada pihak-pihak tertentu yang tidak sepakat dengan topik diskusi, Irine mengimbau supaya bisa berpendapat dengan cara elegan
"Ada baiknya kita duduk bareng, mendengarkan, kemudian berpendapatlah di ruang diskusi. Ruang diskusinya sangat terbuka kok. Tidak ditutup-tutupin, tidak ada sensor segala macam,” pungkasnya. [rt/em]