Langkah Rasminah tertatih-tatih ketika meninggalkan ruang sidang di Mahkamah Konstitusi MK, Kamis (13/12). Perempuan asal Indramayu ini keluar sambil dipapah oleh rekannya, Endang Warsinah.
Rasminah dan Endang Warsinah merupakan dua dari tiga korban perkawinan anak yang mengajukan gugatan uji materi Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi. Sementara Maryanti, seorang pemohon lain yang berasal dari Bengkulu, tidak hadir dalam pembacaan putusan MK.
Dengan mata berkaca-kaca, Endang Warsinah menyampaikan apresiasinya atas putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonannya terkait batas umur pernikahan bagi perempuan agar tidak lagi pada 16 tahun sebagaimana termaktub dalam Undang-undang perkawinan.
Dalam salah satu amar putusannya, MK memberi tengat waktu paling lama tiga tahun bagi DPR untuk mengubah ketentuan batas usia dalam Undang-undang Perkawinan itu.
Endang menyayangkan mengapa hal itu tidak dilakukan segera karena tidak ingin ada anak perempuan yang kawin pada usia dini seperti yang dialaminya.
Endang Dikawinkan Ketika Belum Berusia 14 Tahun
Endang merasa kebahagiannya terenggut ketika orangtuanya menyuruhnya kawin pada usia hampir 14 tahun, dengan duda beranak satu. Dengan menahan air mata, Endang menceritakan bahwa faktor ekonomi keluarganya yang kurang mampu yang menyebabkan orangtuanya menyuruhnya menikah.
Di saat seharusnya masih mendapatkan kasih sayang orang tua, Endang kecil justru harus menjadi istri dan orangtua dari anak suaminya dan itu membuatnya bingung. Tak jarang selama masa perkawinannya ia mengalami tindak kekerasan, termasuk ketika berhubungan seksual.
"Berhubungan suami istri ya, namanya saya waktu 14 tahun tidak mengerti. Saya dipaksa begitu saja sampai ada luka fisik. Dari situ saya ngadu ke orangtua, saya langsung nangis ke orangtua bahwa saya diperlakukan suami begini-begini," tutur Endang.
Namun, sayang keluh kesah Endang kepada orangtuanya ketika itu ditanggapi dingin. Ketika kekerasan itu terus terjadi, Endang memutuskan tidak mau melanjutkan perkawinannya dan mengajukan cerai. Orang tuanya baru mendukung hal itu setelah melihat bukti-bukti kekerasan yang dilakukan suaminya.
Rasminah Juga Kawin Dini karena Kemiskinan
Kisah yang hampir serupa juga dirasakan Rasminah. Dia juga dijodohkan oleh orangtuanya karena faktor ekonomi. Perkawinan Rasminah juga tidak panjang, hanya berjalan dua tahun.
Lia Anggiasih dari Koalisi Perempuan Indonesia mengatakan tiga tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk mengubah atau menaikan batas umur pernikahan bagi perempuan. Oleh karena itu ia menyerukan agar presiden mengambil tindakan awal dengan mengeluarkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) untuk menaikan batas umur perkawinan bagi perempuan, karena MK sendiri mengakui bahwa saat ini Indonesia berada dikondisi darurat perkawinan anak.
Selain soal menaikan batas umur perkawinan bagi perempuan, Perppu itu lanjut Endang harus juga berisi soal pengawasan tentang pemberian dispensasi.
"Pokoknya kalau dia mau mengajukan dispensasi, dia harus melewati beberapa lembaga terlebih dahulu sebelum sampai ke pengadilan agama, itu kan semakin mempersulit orangtua ataupun wali yang bisa dianggap menjadi perwakilan untuk mendaftarkan ke pengadilan agama. Selama ini langsung ke pengadilan, siapapun bisa mengajukan misalnya bibinya, pamannya, sebagai wali tadi selain orangtua. Nah semakin dipersulit saya pikir akan semakin sulit peluang orang-orang dewasa untuk mengajukan dispesasi bagi anak-anak yang akan dikawinkan," ungkap Lia.
Lia mengatakan salah satu kendala dalam menghapus praktik perkawinan anak di Indonesia karena masih adanya landasan hukum yang memungkinkan legalisasi perkawinan anak, yaitu UU Perkawinan Tahun 1974, khususnya pasal 7 dan pasal 7a tentang batas usia dan dispensasi. UU Perkawinan ini juga bertolakbelakang dengan UU Perlindungan Anak karena UU Perkawinan mengijinkan anak perempuan berusia 16 tahun untuk kawin, sementara UU Perlindungan Anak menilai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun berarti termasuk kategori anak-anak.
Menurut Lia, perkawinan anak justru mengakibatkan anak-anak perempuan mengalami kekerasan dan mendorong angka perceraian, putus sekolah dan kemiskinan. Lingkaran kemiskinannya tambah Lia tidak akan putus justru makin panjang karena kondisinya anak-anak perempuannya kembali pulang dengan membawa anak hasil perceraian, yang artinya beban tambahan orangtua semakin bertambah.
Faktor kemiskinan atau ekonomi, kata Lia, merupakan faktor yang paling besar terjadinya perkawinan, selain juga faktor budaya dan agama, seperti takut anaknya melakukan zina maka anaknya dinikahkan.
Mahkamah Konstitusi menyatakan data pernikahan anak semakin meningkat, hal itu dilihatnya dari data BPS tahun 2017. Sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. [fw/em]